(IslamToday ID) – Hasil pemilu 2020 di Myanmar dianulir sehingga kemenangan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi otomatis batal.
Keputusan itu diambil dalam rapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru dibentuk oleh rezim junta militer, setelah kepengurusan yang lama dibubarkan bersamaan dengan kudeta.
Rapat itu dihadiri oleh 60 orang perwakilan dari 53 partai politik (parpol) di Myanmar. Sedangkan 38 parpol lainnya absen.
Mereka sepakat membatalkan hasil pemilu 2020. Mereka menyatakan bakal mempersiapkan tahapan untuk melaksanakan pemilu ulang dan mengumpulkan nama para calon pemilih.
KPU juga menjanjikan bakal menggelar pemilu ulang secara bebas dan adil sesuai undang-undang dasar.
“Empat dari lima parpol berpendapat bahwa aturan hukum di Myanmar masih lemah dan mendesak penegakan hukum,” kata Presiden Partai Kongres Nasional Myanmar, Kuang Myint Htun seperti dikutip dari Reuters, Ahad (28/2/2021).
Junta militer Myanmar menetapkan status masa darurat nasional selama satu tahun usai menggulingkan pemerintahan sipil melalui kudeta pada 1 Februari lalu. Mereka menjanjikan akan menggelar pemilu ulang, meski belum memastikan kapan hal itu akan dilakukan.
“Kami menyampaikan usulan untuk meninjau ulang sistem pemilihan, dan kami menyarankan supaya diterapkan sistem perwakilan secara proporsional dalam pemilu,” kata Sekjen Partai Kekuatan Demokrasi, U Aung Zin.
Sementara, pasukan keamanan Myanmar kembali menggunakan cara kekerasan dalam membubarkan aksi unjuk rasa anti-kudeta. Laporan AFP, setidaknya ada tiga demonstran tewas dalam pembubaran tersebut.
Baik tentara maupun polisi menembakkan peluru karet, gas air mata dan meriam air demi membubarkan pengunjuk rasa yang kembali membanjiri jalanan. Selain tiga orang tewas, 20 orang lainnya terluka saat pasukan keamanan bergerak di kawasan pantai selatan Dawei.
Pyae Zaw Hein, petugas penyelamat, menyatakan ketiganya ditembak mati dengan peluru tajam. Sementara lainnya terluka akibat peluru karet.
“Mungkin ada lebih banyak korban juga karena lebih banyak orang yang terluka terus berdatangan,” kata Pyae.
Gelombang unjuk rasa besar-besaran terjadi sejak 1 Februari 2021. Ini pun diikuti kampanye pembangkangan sipil sehingga mendorong pegawai negeri mengundurkan diri.
Menurut Assistance Association Political Prisoners (AAPP) lebih dari 850 orang ditangkap atau dijatuhi hukuman. Namun tindakan keras di akhir pekan ini mampu meningkatkan jumlah korban penangkapan secara drastis. Surat kabar negara melaporkan 479 penangkapan terjadi pada Sabtu (27/2/2021) saja.
Di sisi lain, Suu Kyi tidak terlihat di depan umum. Ia ditahan selama penggerebekan dini hari di ibukota Paypyidaw saat terjadinya kudeta. [wip]