ISLAMTODAY ID-Seorang warga Rohingya menyatakan bahwa hanya pendidikan yang dapat memastikan kepemimpinan masa depan untuk kelangsungan hidup sebagai bangsa.
Suatu sore, ribuan Muslim Rohingya di kamp-kamp pengungsi Bangladesh yang luas baru saja menyelesaikan sholat dzuhur dan bergerak menuju tenda darurat untuk makan siang.
Suara merdu lantunan ayat suci Al-Qur’an oleh suara ngaji anak-anak terdengar dari masjid yang bermarkas di kamp no 12.
Pemukiman pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh, yang dibagi menjadi 34 kamp, saat ini menampung lebih dari 1,2 juta orang Rohingya.
Untuk diketahui, para pengungsi tersebut sebagian besar melarikan diri dari tindakan keras militer brutal di Negara Myanmar pada Agustus 2017.
Mohammad Ekram Ullah, 42, sedang mengajar Al-Qur’an kepada anak-anak di dalam masjid. Dia telah mengajar tiga angkatan anak-anak.
Ullah, juga imam di masjid itu secara sukarela melayani anak-anak di komunitasnya.
“Sebelum melarikan diri dari genosida di negara asal saya pada tahun 2017, saya adalah seorang guru di sebuah seminari Islam di sana. Ratusan anak belajar Alquran bersama dengan pendidikan tradisional di institut itu. Sekarang, saya berusaha agar anak-anak kita sibuk membaca minimal Al-Qur’an agar mereka tercerahkan secara moral dan tidak sesat,” ungkap Ullah kepada Anadolu Agency, seperti dilansir dari AA, Kamis (8/9).
Pemimpin agama itu berbicara pada malam Hari Aksara Internasional yang dirayakan pada 8 September.
UNESCO mendeklarasikan hari itu pada 26 Oktober 1966, untuk menyoroti pentingnya literasi.
Ullah mengatakan karena status mereka sebagai “warga Myanmar yang terlantar,” dan bukan pengungsi, orang-orang Rohingya di kamp-kamp Bangladesh hanya diperbolehkan menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di sejumlah pusat pembelajaran yang disetujui oleh otoritas negara tuan rumah.
“Sudah, kami telah melewati lima tahun di sini sejak eksodus terakhir. Ratusan anak kami yang bersekolah telah putus sekolah dan banyak anak-anak tumbuh tanpa pendidikan minimal dan tidak ada ruang untuk pendidikan tinggi,” ungkap Ullah, menambahkan bahwa Rohingya berisiko tinggi tanpa pemimpin di masa depan.
Pembatasan Pendidikan Bagi Rohingya
Ayah dari tiga anak, Abdul Hamid mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa pendidikan bukanlah hak istimewa tetapi hak dasar setiap manusia.
Putra sulungnya seharusnya belajar di tingkat menengah.
“Tapi, saya tidak memiliki ruang lingkup di Bangladesh untuk melanjutkan pendidikan putra saya. Sekarang, saya khawatir tentang dua anak saya yang lain dan apakah saya dapat memastikan pendidikan dasar bahkan untuk mereka,” ungkap Hamid, yang bertanya: Apa yang akan terjadi di masa depan untuk generasi berikutnya jika mereka tidak berpendidikan?
Bangladesh telah melarang ribuan pusat pembelajaran berbasis kamp yang dijalankan oleh kaum muda Rohingya yang berpendidikan, dengan alasan disiplin internal dan keamanan.
“Pada Desember 2021, Bangladesh membalikkan arah dan melarang semua sekolah yang dipimpin Rohingya dan fasilitas belajar ‘berbasis rumah’, yang mempengaruhi sekitar 32.000 siswa,” ungkap Human Rights Watch pada Maret.
Pengawas hak asasi yang berbasis di New York menuduh bahwa pemerintah Bangladesh memperketat sekrup untuk mencegah anak-anak pengungsi dari “akses apa pun ke pendidikan formal, setelah bertahun-tahun dengan sengaja merampas sekolah berkualitas mereka.”
Bangladesh telah membantah tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa kegiatan pendidikan di semua pusat pembelajaran yang disetujui berjalan dengan lancar.
Dukungan Lokal dan Internasional
Menurut sebuah pernyataan pada April 2019 oleh badan pengungsi PBB, UNHCR, Organisasi Internasional untuk Migrasi dan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, hampir setengah dari 540.000 anak pengungsi Rohingya di bawah usia 12 tahun kehilangan pendidikan sama sekali.
“Sisanya hanya memiliki akses ke sekolah yang sangat terbatas. Hanya segelintir anak remaja yang saat ini dapat mengakses segala bentuk pendidikan atau pelatihan,” ungkapnya.
Ketua Dewan Rohingya Eropa, Ambia Perveen, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa tanpa segera memastikan pendidikan, termasuk di tingkat yang lebih tinggi, masa depan akan sangat suram bagi Rohingya.
“Kita tidak boleh lupa bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia tanpa memandang warna kulit, latar belakang, dan agama,” ungkap Perveen.
Dia menambahkan bahwa Rohingya harus diberi “pena dan kertas” dengan hak dasar lainnya untuk menulis cerita mereka sendiri.
“Karena kami tidak tahu berapa tahun yang dibutuhkan untuk memulai repatriasi yang berkelanjutan, pemerintah Bangladesh dan masyarakat internasional harus fokus pada pendidikan untuk Rohingya di kamp-kamp pengungsi karena kami tidak diizinkan memiliki akses ke pendidikan di luar,” ujarnya.
Dewan juga memperingatkan bahwa jika anak-anak tidak dididik, mereka akan menjadi sasaran pelecehan termasuk pernikahan anak, pekerja anak, penjaja narkoba, dan perdagangan manusia.
“Akibatnya, mereka tidak hanya akan menjadi ancaman lokal dan regional, tetapi juga bagi seluruh dunia,” ungkapnya.
(Resa/AA)