ISLAMTODAY ID-Pada hari Kamis (13/10), Presiden Rusia Vladimir Putin menekankan bahwa situasi di Afghanistan tetap menjadi salah satu tantangan keamanan global yang paling mendesak.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyerukan pencairan aset Afghanistan dan kompensasi atas kerugian yang dilakukan selama tahun-tahun pendudukan.
Berbicara pada KTT keenam Konferensi tentang Interaksi dan Tindakan Membangun Keyakinan di Asia (CICA) di Astana pada hari Kamis, Putin mengatakan bahwa “untuk menormalkan situasi di wilayah Afghanistan, tentu saja, perlu bersama-sama mempromosikan pertumbuhan ekonominya.”
“Tetapi pertama-tama, kami sangat mendesak [AS] untuk mengkompensasi kerusakan yang terjadi pada Afghanistan selama tahun-tahun pendudukan dan mencairkan dana Afghanistan yang diblokir secara ilegal,” ujar Putin, seperti dilansir dari Sputniknews, Kamis (13/10).
Dia menyatakan penyesalan atas fakta bahwa Afghanistan “tetap menjadi salah satu tantangan keamanan paling mendesak bagi kawasan kami.”
“Rekan [saya] sudah membicarakan hal ini hari ini. Setelah lebih dari 20 tahun kehadiran militer AS dan NATO dan kegagalan kebijakan mereka, negara itu ternyata tidak dapat secara mandiri menyelesaikan masalah yang terkait dengan ancaman teroris, ” ungkap presiden Rusia.
Dia menambahkan bahwa untuk meningkatkan situasi keamanan di Afghanistan, akan berguna untuk beralih ke Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) dan struktur antiteroris regionalnya.
Berbicara tentang terorisme, Putin mengingat ledakan di kedutaan Rusia di Kabul dan serangkaian “serangan teroris berdarah terus-menerus” di Afghanistan.
Pada bulan Februari, Presiden AS Joe Biden menandatangani perintah eksekutif untuk membekukan aset Bank Sentral Afghanistan senilai $7 miliar yang dipegang oleh organisasi pemberi pinjaman AS.
Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada Agustus 2021, memicu runtuhnya pemerintah yang didukung AS dan mempercepat penarikan pasukan Amerika.
Pada 31 Agustus 2021, pasukan AS menyelesaikan penarikan mereka dari negara Asia Selatan, mengakhiri kehadiran militer mereka selama 20 tahun di sana.
(Resa/Sputniknews)