JAKARTA, (IslamToday.id) — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan usulan penyesuaian iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak perlu mendapatkan izin dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hal tersebut disampaikannya saat memberikan paparan penutup dari pemerintah dalam rapat gabungan antara Komisi IX dan Komisi IX DPR mengenai hasil audit BPKP terhadap defisit keuangan BPJS Kesehatan.
“Memang tidak perlu persetujuan DPR,” pungkas Sri Mulyani di ruang rapat Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Rapat gabungan mengenai hasil audit BPKP terhadap keuangan BPJS Kesehatan akan dilanjutkan pada Senin tanggal 2 September 2019 pukul 10.00 WIB.
Namun, Sri Mulyani menegaskan bahwa kondisi keuangan BPJS Kesehatan akan semakin tekor jika upaya penambalan tidak segera dilakukan.
“Kalau ini secara politis menggantung, maka defisit BPJS juga terus menggantung. Kalau mau di-reschedule silahkan, tapi Komisi XI dan Komisi IX tahu minggu-minggu ini kita akan sibuk dengan Banggar dan RKAKL,” tandasnya.
Sementara itu, pimpinan rapat Komisi IX DPR Indah Kurnia memutuskan bahwa rapat gabungan akan dilanjutkan pada tanggal 2 September 2019 di ruang rapat Komisi XI DPR.
Pihak parlemen menegaskan tidak akan memberikan persetujuan terhadap penyesuaian iuran BPJS Kesehatan.
“Bukan kewenangan kami mencampuri besaran iuran, tetapi kami ingin mengetahui benar kebijakan atas temuan sambil memberikan masukan agar secara kolektif pada saatnya dibantu disosialisasikan,” tandas Indah, dikutip dari Detik.
Beda Usulan Sri Mulyani dan DSJN
Sebagaimana Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan iuran BPJS Kesehatan yang baru sebesar Rp 160.000 per bulan per jiwa untuk kelas 1. Angka itu lebih besar dibandingkan usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
“Untuk 2020 kami usulkan kelas 2 dan kelas 1 jumlah yang diusulkan oleh DJSN perlu dinaikkan,” kata Sri Mulyani di ruang rapat Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Iuran BPJS Kesehatan dipastikan akan naik. Akan tetapi, ada perbedaan rencana kenaikan antara pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Apabila Kemenkeu mengusulkan iuran BPJS Kesehatan kelas mandiri I naik 100 persen menjadi Rp160 ribu per orang per bulan, DSJN berpandangan kelas mandiri I naik 50 persen menjadi Rp 120 ribu per bulan mulai 1 Januari 2020 mendatang.
Berikut rincian usulan Kemenkeu terkait rencana kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Iuran peserta bukan penerima upah :
a. Kelas 1 : Rp 160.000 (sebelumnya Rp 80.000)
b. Kelas 2 : Rp 110.000 (sebelumnya Rp 51.000)
c. Kelas 3 : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 25.500)
Untuk peserta kelas mandiri II, mereka usul agar iuran dinaikkan dari Rp59 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu. Sementara, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp16.500 dari Rp25.500 per bulan menjadi Rp42 ribu per peserta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan iuran ini akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin sehat. Hitungannya, kalau kenaikan iuran dilakukan sesuai usulan Kementerian Keuangan dan mulai diberlakukan 1 Januari 2019, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi surplus Rp17,2 triliun.
“Nah surplus itu bisa menutup defisit pada 2019. Pada tahun ini prediksi defisitnya Rp14 triliun. Sudah ditutup pun masih surplus,” pungkas Sri Mulyani, Selasa (27/8).
Dengan perkiraan perubahan tersebut, BPJS Kesehatan berpotensi meraup keuntungan Rp3,2 triliun tahun depan setelah dikurangi perkiraan defisit pada 2019 yang sebesar Rp14 triliun. Namun, Sri Mulyani belum menyebutkan dampak kenaikan iuran tersebut terhadap penurunan peserta.
“Surplus pada 2021 diperkirakan Rp11,59 triliun, kemudian 2022 sebesar Rp8 triliun, dan 2023 hanya Rp4,1 triliun. Ini karena jumlah utilisasi meningkat,” tukasnya.
Sementara itu, ia menyatakan bahwa kenaikan iuran ini juga akan sejalan dengan penambahan beban BPJS Kesehatan untuk membayar rawat inap. Sehingga, Sri Mulyani memperkirakan surplus lembaga itu semakin berkurang pada 2021-2023.
Usulan DSJN Berbeda
Berbeda dengan DSJN, rencana kemenkeu dibawah Sri Mulyani lebih tinggi dibandingkan dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Kelas mandiri I hanya diusulkan naik Rp 40 ribu per bulan menjadi Rp 120 ribu per bulan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinaikkan. Kenaikan ini untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang terus terjadi setiap tahunnya.
Adapun usulan iuran dari Sri Mulyani ini lebih tinggi dari usulan yang disampaikan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau masyarakat biasa yang bukan pegawai pemerintah. DJSN mematok untuk kelas 1 Rp 120.000 khusus peserta bukan penerima upah.
Berikut usulan DJSN:
Iuran penerima bantuan iuran (PBI) : Rp 42.000 (sebelumnya Ro 23.000)
Iuran peserta penerima upah – Badan Usaha : 5% dengan batas atas upah Rp 12 juta (sebelumnya Rp 8 juta)
Iuran peserta penerima upah – Pemerintah : 5% dari take home pay (sebelumnya 5% dari gaji pokok + tunjangan keluarga)
Iuran peserta bukan penerima upah :
a. Kelas 1 : Rp 120.000 (sebelumnya Rp 80.000)
b. Kelas 2 : Rp 75.000 (sebelumnya Rp 51.000)
c. Kelas 3 : Rp 42.000 (sebelumnya Rp 25.500)
“Tadi DJSN mengusulkan Rp 75.000 untuk kelas II dan Rp 120.000 untuk kelas I, dan kami mengusulkan Rp 110.000 untuk kelas II dan Rp 160.000 untuk kelas I,” pungkas Sri Mulyani di Ruang Rapat Komisi IX, Jakarta, Selasa (27/8/2019), dikutip dari CNBC Indonesia.
Untuk kenaikan iuran kepada masyarakat biasa ini diusulkan akan dimulai pada Januari 2020. Dengan demikian BPJS Kesehatan dan pemerintah punya waktu melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Sedangkan untuk usulan iuran PPU Badan Usaha, PPU Pemerintah serta PBI APBN dan APBD, pemerintah tetap sama dengan DJSN. Dimana PBI menjadi Rp 42.000 dari Rp 23.000, PPU Badan Usaha 5% dengan batas upah Rp 12 juta dari sebelumnya Rp 8 juta. Kemudian, PPU – pemerintah 5% dari THP yang sebelumnya 5% dari gaji pokok plus tunjangan keluarga.
“Untuk PPU Pemerintah, ini akan kita mulai 1 Oktober 2019 sehingga BPJS ada tambahan dapat dari yang kita bayar untuk TNI, Polri dan ASN yaitu 5% dikalikan penerimaan mereka termasuk tukin, maksimum gaji Rp 12 juta kita hitung, yang di atas Rp 12 juta gajinya enggak dihitung,” jelasnya.
Sedangkan, untuk PBI untuk pemerintah pusat dan PBI melalui APBD, diusulkan dapat dilakukan perubahan anggaran mulai dari bulan Agustus. Ini untuk bisa menutupi defisit BPJS yang diperkirakan akan lebih besar di tahun ini.
“Kami susulkan untuk PBI bisa dimulai kenaikan Agustus ini. Artinya APBN harus masukkan tambahan untuk PBI mulai Agustus ini, untuk PBI pusat dan daerah. Kami sudah usulkan ke Presiden untuk PBI daerah dari Agustus sampai Desember akan ditanggung pempus dulu, sehingga dari daerah efektif bayar sendiri di Januari,” tandasnya.