(Islam Today ID) — Pemerintah Indonesia menutup tahun 2019 dengan kebijakan yang menyesakkan dada. Kebijakan tersebut adalah naiknya iuran BPJS. Bahkan kebijakan ini ditetapkan pada hari ke empat setelah Presiden Jokowi resmi dilantik pada 20 Oktober 2019.
Kabar naiknya premi BPJS ini disusul dengan dinaikannya tarif dasar listrik (TDL). Khususnya TDL bagi rumah tangga yang pada Maret 2019 sempat turun. Pada tahun 2020 dipastikan akan naik bersamaan dengan naiknya tarif tol. Apakah kebijakan semacam membawa dampak baik bagi kesejahteraan rakyat?
Salah satu aspek kesejahteraan sosial yang dijamin oleh negara adalah aspek kesehatan. Indonesia sendiri memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan merupakan lembaga sosial nonprofit yang kini sejak awal dioperasikan hingga kini selalu mengalami defisit.
Asal-muasal lembaga asuransi kesehatan di Indonesia dimulai sejak masa kolonial, tahun 1934. Saat itu jaminan kesehatan hanya berlaku untuk pegawai Belanda. Pada tahun 1938 jaminan kesehatan mulai diklasfikasikan berdasarkan status kewarganegaraan. Bagi pegawai bangsa Eropa berobat ke rumah sakit swasta dan pegawai golongan pribumi berobat ke rumah sakit pemerintah.
Pasca kemerdekaan Indonesia, Indonesia tidak langsung membuat kebijakan tentang jaminan asuransi kesehatan. Sampai pada tahun 1950-an sistem pendanaan asuransi kesehatan yang berlangsung ialah sistem restitusi. Sistem jaminan kesehatan dengan cara mengganti biaya berobat para pegawai negeri, dan keluarganya saja tidak untuk pensiunan pegawai. Namun ketika jumlah pegawai bertambah banyak tentu kebijakan ini dinilai tidak lagi efektif.
Dalam rangka menertibkan sistem asuransi kesehatan dibuatlah undang-undang (UU) resmi asuransi kesehatan. Undang-undang (UU) pertama yang terbit ialah UU Pokok Kesehatan No 9 Tahun 1960, mengatur tentang hak setiap warganegara memperoleh pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan, dan pelayanan kesehatan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Aturan kedua ialah Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) RI No 865 tahun 1960 pada 20 Desember 1960 dengan nama program “Jakarta Pilot Project” yang dilaksanakan di Jakarta.
Selain itu pelaksanaan sistem restitusi diiringi dengan terus bertambahnya jumlah pegawai pemerintah berdampak pada membengkaknya anggaran belanja kesehatan. Menteri Kesehatan Gerrit Augustinus Siwabessy pada tahun 1968 segera membentuk komite dana sakit. Komite dana sakit berubah menjadi Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang ada di Departemen Kesehatan.
BPDPK berdiri berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1 Tahun 1968. Inilah lembaga asuransi sosial kesehatan pertama di Indonesia yang nantinya menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. BPDPK hanya diperuntukkan bagi pegawai pemerintah, keluarga pegawai dan pensiunan. Besaran tarif iuran pun ditentukan. berdasarkan Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1968 sebesar 5% dari gaji. Program asuransi bagi pegawai, pensiunan dan keluarganya ini baru berlaku pada 1 April 1969.
Lain pegawai pemerintah lain pula nasib rakyat, rakyat masih terabaikan oleh negara. Ketimpangan sosial dalam bidang kesehatan ini berlanjut hingga tahun 1994. Dalam kurun waktu hampir 34 tahun amanat UU No. 9 Tahun 1960 belum juga bisa dijalankan oleh pemerintah. Pemerintah baru memberikan kartu sehat bagi rakyat miskin untuk berobat di puskesmas pada tahun 1994.
Sidang World Health Assembly (WHA) ke 58 di Jenewa tahun 2005 memerintahkan seluruh negara untuk memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh warga negaranya. Jaminan kesehatan yang dimaksud itu ialah memberikan akses layanan kesehatan tanpa adanya resiko keuangan. WHA menyerukan bangsa-bangsa di dunia untuk menyelenggarakan Universal Health Coverage (UHC) atau jaminan kesehatan semesta. UHC di Indonesia diturunkan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Berikut uraian singkat perjalanan dan dinamika yang ada dalam tubuh BPJS sejak BPDPK hingga menjadi BPJS:
Periode 1971-1980
- Keppres No 8 Tahun 1977 mengatur tentang besaran iuran yang dikenakan kepada pegawai pemerintah dan pensiunan sebesar 2% dari gaji.
- Sistem kapitasi mulai diperkenalkan di puskesmas-puskesmas Jakarta.
- Dana Upaya Kesehatan Masyarakat
Periode 1981-1990
- PP No 22 Tahun 1984 mengatur tentang pemeliharaan kesehatan, penerima pensiun dan keluarganya yang diselenggarakan oleh perusahaan umum.
- PP No 23 Tahun 1984 tentang Perusahaan Umum Husada Bhakti.
- Berdasarkan PP No 23 Tahun 1984 BPDPK menjadi badan yang berdiri sendiri tidak lagi menginduk pada Departemen Kesehatan, menjadi Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti (PHB).
Periode 1991-2000
- PP No 69 Tahun 1991 mengatur tentang pemeliharaan kesehatan pegawai, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan dan keluarganya dilaksanakan oleh badan yang menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.
- DPR mengesahkan UU No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga kerja (Jamsostek).
- PP No 6 Tahun 1992 tentang pengalihan Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
- Peralihan PHB menjadi PT Askes.
- UU No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang mewajibkan pemerintah mengadakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
- PP No 14 Tahun 1993 tentang Jamsostek.
- Permenkes No. 571 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan JPKM.
- Kepmenkes No 1122 Tahun 1994 tentang kartu sehat bagi keluarga miskin untuk berobat ke Puskesmas.
- Berlakunya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk pengobatan.
- Kepmenkes No. 56 Tahun 1996 berisi aturan tentang dokter keluarga dalam penyelenggaraan JPKM.
- Kebijakan Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) pada tahun 1998-2001 untuk mengatasi dampak krisis ekonomi tahun 1997.
Periode 2000-2010
- Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) tahun 2001.
- Program JPKM- JPSBK berubah menjadi JPKM semesta untuk masyarakat miskin dan non miskin.
- MPR melalui TAP MPR X/ MPR/ 2001 Mengamanatkan kepada Presiden membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
- Keppres No. 20 Tahun 2002 tentang pembentukan tim SJSN.
- Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) pada tahun 2002- 2004 meliputi program layana kesehatan dasar, rujukan untuk ke rumah sakit, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil, bayi, pengobatan, KB, pemberantasan penyakit menular oleh puskesmas. Pendanaan langsung disalurkan kepada Puskesmas.
- UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
- Tahun 2005 Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (PJKMM) atau Askeskin kepada PT Askes berdasarkan SK Menkes No 1241 Tahun 2004.
- Tahun 2006 PT Askes menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat miskin berbasis asuransi.
- Tahun 2007 Pemerintah mengeluarkan aturan berdasarkan Indonesia Diagnostic Related Groups (INA- DRGs) tentang tarif paket bagi Askeskin.
- Tahun 2008 Askeskin berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang ha katas akses kesehatan bagi semua rakyat.
Periode 2011-2019
- UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
- PT Askes dibubarkan tanpa likuidasi pada 31 Desember 2015.
- 1 Januari 2014 BPJS resmi beroperasi.
- 1 Januari JKN diluncurkan menggantikan Jamkesmas.
- 3 November 2014 Kartu Indonesia Sehat diluncurkan.
- Tahun 2016 Iuran BPJS naik pertama kali.
- MA membatalkan Perdirjampelkes atas permohonan Persatuan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) dengan nomor 58/P/HUM/2018, 59/P/HUM/2018, 60/P/HUM/2018, pada 15 Agustus 2018.
- Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
- Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang iuran BPJS naik 100% pada 1 Januari 2020.
Transformasi BPJS dari Masa ke Masa
Perjalanan BPJS diawali dengan dibentuknya BPDPK yang menjadi satu bagian dengan Depkes. Dengan dalih pengembangan BPDPK pemerintah merubah bentuk BPDPK menjadi perusahaan umum, tepatnya pada tahun 1984. BPDPK diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Husada Bhakti atau PHB.
Salah satu alasan pemerintah ialah agar PHB bisa memberikan pelayanan asuransi kesehatan kepada masyarakat umum di luar PNS. Dua tahun berjalan, pada tahun 1992, PHB diubah menjadi PT Persero. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 1992 dengan nama PT Asuransi Kesehatan (Persero) atau PT Askes (Persero). PT Askes pada periode terakhir Presiden SBY, tepatnya pada 31 Desember 2013 pun dibubarkan tanpa proses likuidasi, dan pada 1 Januari 2014 BPJS resmi didirikan.
Likuidasi ialah ialah proses pengurusan dan pemberesan pasiva dan aktiva suatu perusahaan hal ini sangat penting dilakukan karena berkaitan dengan asset perusahaan. Proses likuidasi ini dilakukan oleh likuidator yang nantinya berkewajiban untuk mencatat dan mengumpulkan kekayaan dan utang perusahaan. Aturan rigid tentang proses pembubaran perseroan diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sementara itu pasca pembubaran PT Askes, pemerintah menyatakan bahwa segala bentuk aset dan liabilitas PT Askes sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban BPJS Kesehatan. Hal ini diatur pemerintah melalui UU No. 24 Pasal 60 Tahun 2011. UU tersebut juga menjelaskan bahwa BPJS tidak bisa dipailitkan berdasarkan perundang-undangan tentang kepailitan. Untuk itu pemeritah menggunakan berbagai cara untuk menyelamatkan BPJS dari situasi defisit.
Salah satu cara menyelamatkan BPJS dari defisit dengan menerapkan kebijakan menaikan tarif iuran. Meskipun sejak awal beroperasi BPJS sudah mengalami defisit. Pemerintah berpendapat satu-satunya jalan yang cukup ampuh menyelamatkan BPJS ialah dengan cara menaikan tarif seperti tahun 2016 kemarin.
Besaran anggaran BPJS dari tahun ke tahun (dalam triliun) Rp 74,2 (2015), Rp 106,1 (2016), Rp 104 (2017), Rp 111 (2018), Rp 123,1 (2019) dan tahun 2020 direncanakan sebesar Rp 132,2. Menkeu, Sri Mulyani mencatat besaran defisit BPJS dari tahun ke tahun (dalam triliun) adalah Rp 1,9 (2014), Rp 9,4 (2015), Rp 6,7 (2016), Rp 13,8 (2017), Rp 19,4 (2018). Saat ini Kemenkeu mencatat kemungkinan defisit di tahun 2019 mencapai angka Rp 32,8 triliun.
Selain itu menurut catatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) BPJS memiliki catatan tagihan klaim sebesar Rp 6,5 triliun. Sementara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pada November kemarin mencatat ada 80% rumah sakit mitra BPJS mengalami tunggakan klaim.
Kondisi BPJS ini diperparah dengan biaya penyakit Katastropik seperti stroke, jantung, dan kanker. Ketiganya merupakan jenis penyakit yang membutuhkan biaya berobat sangat mahal. Anggaran yang harus dikeluarkan oleh BPJS untuk penyakit jantung Rp 7,7 triliun, kanker dengan biaya Rp 2,7 triliun dan stroke berada diposisi ketiga dengan Rp 1,9 triliun.
Hal berikutnya ialah temuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ada 50.475 badan usaha yang belum bekerja sama dengan BPJS, 528.120 pekerja yang belum didaftarkan oleh 8.314 badan usaha, dan 2.348 badan usaha yang tidak melaporkan gaji karyawan dengan benar.
Fakta lain yang harus dihadapi oleh BPJS ialah ramainya aksi migrasi kelas asuransi dari kelas satu dan dua menuju kelas tiga pasca ditandatanganinya Perpres No. 75 Tahun 2019 pada 24 Oktober 2019. Peserta BPJS di Bandung pada bulan November kemarin dalam sepekan setidaknya ada 2500 peserta yang mengajukan penurunan kelas. Begitu pula daerah lain di Rembang 500 peserta, Palembang 200 peserta dan di Balikpapan 15-20 peserta setiap harinya.
Hal ini berdampak pada penuhnya kuota kelas tiga. Belum lagi kemungkinan BPJS akan diduakan oleh peserta BPJS. Asuransi swasta dinilai lebih menguntungkan, sementara menjadi peserta BPJS hanyalah sekedar memenuhi kewajiban sebagai warganegara. Belum lagi tingkat jaminan pelayanan bagi peserta BPJS yang bisa jadi berubah di tengah-tengah jalan.
Pada akhir tahun 2018 peserta BPJS dikagetkan dengan menghilangnya klaim obat kanker usus yang sebelumnya dibiayai BPJS. Sebenarnya sah-sah saja jika masyarakat melakukan dualisme asuransi untuk mendapatkan layanan kesehatan yang prima. Mengingat klaim asuransi BPJS rawan menghilang di tengah-tengah jalan.
Pemerintah juga berencana mengancam peserta yang menunggak iuran, tidak diperkenankan memperpanjang SIM. Aturan ini terinspirasi oleh negara tetangga, Malaysia memberi sanksi dengan cara menyita paspor milik warga negaranya yang nekad menunggak iuran. Sementara di Korea Selatan berlaku pembekuan asset selama dua bulan.
BPJS yang semula menjadi hak bagi rakyat jika dilihat dari amanat undang-undang kini berubah menjadi beban yang memberatkan. Negara gagal menjalankan undang-undang, karena gagal memberikan hak rakyatnya, kehadiran BPJS semakin membuat rakyat terlantar. Wajar jika kemudian kebijakan pemerintah menaikan iuran BPJS 100% menimbulkan polemik di tengah-tengah rakyat.
Banyak kalangan yang menilai bahwa peraturan tersebut dapat membuat rakyat miskin semakin menderita. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah jangan sampai menjadi peraturan yang mendukung praktik diskriminalisasi aturan bagi rakyat miskin dengan mengatasnamakan negara. Jangan sampai tujuan diberlakukannya Perpres No. 75 Tahun 2019 untuk menyelamatkan BPJS justru tidak tercapai, bahkan rakyat pun bisa saja melakukan judicial review terhadap Perpres No 75 Tahun 2019.
Sistem Jaminan Kesehatan di Dunia
Legatum Institue sebuah lembaga penelitian di London pada November 2016 merilis negara-negara termakmur di dunia dengan salah satu indikatornya adalah bidang kesehatan. Negara tersebut seperti Luksemburg, Singapura, Swiss, Jepang, Belanda, Swedia, Hongkong, Australia, Inggris, Qatar, Selandia Baru, Belgia. Bahkan, negara tetangga kita Singapura menempati peringkat pertama dalam hal efisiensi layanan kesehatan. Indikator harapan hidup di Singapura pun termasuk tinggi yakni 83,1 tahun. Biaya asuransi kesehatan di Singapura termasuk dalam lima negara termahal di dunia bersama AS, Hongkong, Cina dan Kanada.
Negara-negara yang masuk kategori sukses dalam hal pelayanan kesehatan di atas memang tergolong negara maju dengan pendapatan perkapita yang tinggi. Apakah jumlah pendapatan bisa dijadikan acuan rendahnya jaminan kesehatan di suatu negara. Sebut saja Kuba sebuah negara berkembang di kawasan Amerika Selatan, negara ini sudah berani menganggarkan anggaran kesehatan sebesar 14,5 % saat Indonesia masih pada angka 2% dari APBN. Seluruh warga negara baik yang kaya maupun miskin gratis dan bebas mengakses layanan kesehatan. Setiap RT/ RW di Kuba terdapat sejenis klinik dokter, selain itu juga untuk dokter keluarga bukan pasien yang datang ke dokter melainkan dokter yang datang ke pasien. Jaminan kesehatan seperti ini diberikan oleh Pemerintah Kuba sejak Revolusi Kuba tahun 1959.
Jika dengan Kuba saja Indonesia kalah dalam hal anggaran kesehatan lantas bagaimana dengan di tingkat ASEAN? Ternyata kita patut berlapang-dada jika posisi kita ada di peringkat ke tiga dari bawah. Sebuah data hasil penelitian World Development Indicators pada 2016 menempatkan Vietnam di peringkat teratas, disusul berturut-turut oleh Thailand, Kamboja, Singapura, Filipina, Malaysia di bawah Indonesia ada Bruneidarussalam, dan Myanmar.
Amanat Konstitusi
Kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada pasal 25. Pemerintah sebagaimana amanat UUD 1945 wajib memberikan jaminan sosial di bidang kesehatan kepada seluruh rakyat. Amanat tersebut ada dalam pasal 28H yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini dipertegas oleh pasal 34 ayat 3 yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak”.
UU No. 36 tahun 2009 menjelaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Aturan berikutnya meliputi jaminan asuransi kesehatan masyarakat miskin. Jaminan negara tersebut diatur dalam Kepmenkes No. 1241/Menkes/XI/2004, yaitu program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (JKMM). Pada tahun 2008 Program ini berganti nama menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dinamika pergantian nama dan program terus berlanjut dari nama PT Askes (Persero) hingga menjadi nama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan programnya Jaminan Kesehatan Nasional.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza