JAKARTA, (IslamToday ID) – Advokat dari Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA), Nurul Amalia menyatakan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) adalah perbuatan yang jelas-jelas membahayakan dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Nurul lalu membeberkan beberapa modus dalam kasus-kasus LGBT. Pertama, pelaku biasanya berasal dari orang terdekat korban. “Misalnya guru korban, orang tua (kandung atau tiri). saudara maupun kerabat korban,” kata Nurul dalam diskusi ‘Transformasi menuju Fitrah, LGBT dalam Perspektif Keindonesiaan” di kantor INSISTS, Jakarta Selatan, Minggu (29/12/2019).
Tak hanya itu, pelaku dan korban juga sama-sama masih anak-anak. Pelaku dan korban berkenalan melalui media sosial. Selanjutnya, perilaku juga bisa melalui pemaksaan dan ancaman, bahkan bisa dilakukan oleh seseorang kepada orang yang ditarget sebagai korban, tanpa pernah saling mengenal sebelumnya.
Dalam kasus tersebut, biasanya pelaku mencari korban melalui media sosial dan menyembunyikan identitas. Dengan identitas palsu itu, pelaku mengelabui korban dengan pura-pura sebagai wanita.
Pelaku lalu meminta korban mengirim foto tanpa busana serta video privasi. Melalui foto dan video, maka pelaku sering leluasa mengancam dan memaksa korban.
Kemudian, LGBT juga bisa karena penularan. Kasus ini bisa karena pergaulan hingga pendidikan yang minim.
Nurul lalu memberikan satu contoh kasus mengenai LGBT. Ia mencontohkan oknum guru di sebuah pesantren di Karawang, Jawa Barat diduga melakukan sodomi kepada tiga siswanya.
“Ketiga korban disodomi di dalam sebuah kamar mandi di pesantren tersebut,” kata Nurul menyembunyikan identitas pelaku, korban, dan pesantren itu. Tiga korban itu juga tidak mengadukan peristiwa tersebut kepada orang tua mereka.
“Orang tua korban mengetahui saat anaknya tidak mau belajar lagi di pesantren. Orang tua korban merasa curiga dan mendesak anaknya untuk mengakui. Sehingga akhirnya korban mengakui telah disodomi pelaku,” ujarnya.
Berdasarkan pengakuan tersebut, pelaku kemudian ditangkap dan diproses di Palres Karawang. Pelaku diancam pidana pencabulan terhadap anak dengan ancaman pasal 76 E perbuatan cabul terhadap anak.
“Ancaman hukuman paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun, pemberatan hukuman bagi pelaku orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, maka pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana,” ujarnya.
Sementara itu, dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Hasbi Aswar mengajak para aktivis, ormas, politisi, hingga stakeholder untuk melawan gerakan dan framing masif LGBT. Ini karena penyakit seksual tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia. “LGBT adalah ancaman terhadap peradaban manusia dan bertentangan dengan nilai-nilai agama dan fitrah manusia,” kata Hasbi.
Ia menegaskan, gerakan melawan LGBT harus dihadapi baik dalam level domestik maupun internasional. Gerakan itu juga harus dihadapi dengan membangun jaringan antar organisasi dan kalangan lintas kajian keilmuan.
Dalam memasifkan perlawanan, kata Hasbi, peluang sangat terbuka untuk membendung kelompok yang mempropagandakan LGBT sebagai orientasi seksual yang normal. Ia mengutip hasil survei Pew Research Centre pada tahun 2013 bahwa LGBT ditolak oleh warga negara yang memiliki religiusitas tinggi.
Tak hanya itu, meski banyak negara yang telah melindungi hak-hak LGBT secara hukum, namun mayoritas masyarakat belum bisa menerima. “Usaha membawa isu LGBT untuk dibuatkan instrumen hukum spesifik terkait perlindungan terhadap hak-hak LGBT masih banyak ditolak, khususnya oleh negara anggota OKI di dewan HAM PBB,” ujarnya
Hasbi mengingatkan bahwa LGBT saat ini sangat masif dengan jaringan global yang dimiliki dan didukung oleh banyak negara dan dana yang sangat besar. Maka itu, jika tidak segera dibendung maka tidak lama lagi penyakit mental LGBT akan menjadi norma dan budaya baru, khususnya di Indonesia. (wip)
Sumber: Indonesiainside.id