JAKARTA,
(IslamToday ID) – Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa menyarankan pemerintah
Indonesia agar menuntaskan pengesahan nama Laut Natuna Utara yang sudah dimulai pada tahun 2015 di International Hydrographic
Organization (IHO).
Hal itu untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan terkait
pelanggaran yang dilakukan
kapal-kapal China di perairan
Natuna akhir-akhir ini.
Dalam keterangan tertulisnya, Teguh menyebut Indonesia telah mengumumkan penggunaan
nama Laut Natuna Utara bersamaan dengan peluncuran peta baru NKRI pada 2017.
Peta baru itu memuat sejumlah
perubahan terkait kepastian garis batas dengan negara tetangga. Termasuk di dalamnya adalah mengubah garis putus-putus di perairan Pulau Natuna menjadi
garis utuh setelah Indonesia dan negara
tetangga Malaysia dan Vietnam menyelesaikan sengketa perbatasan.
“Karena perairan batas wilayah kedaulatan NKRI sudah
dipastikan, maka sangat wajar dan sudah sepantasnya Indonesia memberikan nama
baru bagi perairan itu. Nama yang dipilih pun pas, Laut Natuna Utara,” kata
Teguh.
Menurutnya, kini pemerintah perlu mengawal agar
nama Laut Natuna Utara segera mendapat pengesahan di IHO, di mana Indonesia dan
China sama-sama menjadi anggota organisasi yang bermarkas di Monako itu.
Segera setelah peta baru NKRI diumumkan pada 2017, pemerintah
China juga menyampaikan protes dan menolak nama itu. Sejak itu, menurut Teguh, kelihatannya perjuangan Laut
Natuna Utara sedikit mengalami pelemahan. “Ayo, jangan kendur dong. Laut Natura Utara itu hak
kedaulatan kita,” ujarnya.
Lebih lanjut, Teguh berpendapat bahwa faktor
historis yang selalu digunakan pemerintah China untuk mendukung klaim mereka
atas Laut Natuna Utara sangat tidak relevan.
Klaim itulah yang digunakan Juru Bicara Kementerian Luar
Negeri China Geng Shuang untuk membenarkan tindakan armada Coast Guard China dan kapal-kapal pencari ikan mereka memasuki Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang diakui PBB.
“Klaim sejarah China itu tidak mendapat tempat dalam hukum
internasional saat ini, juga tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,” tutur Teguh.
Ia mengatakan Permanent Court of Arbitration (PCA) di
Belanda pada Juli 2016 bahkan telah memutuskan bahwa China tidak memiliki hak
kedaulatan atas wilayah yang mereka klaim dalam kasus melawan Filipina. “Ini adalah yurisprudensi yang harus dihormati,” ujar Teguh.
Menurutnya, komunitas internasional terutama
negara-negara ASEAN yang bersengketa dengan China di Laut
Natuna Utara harus bersatu menyadarkan China bahwa
zaman telah berubah.
“Semua negara harus mematuhi hukum internasional yang
berlaku demi menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan,”
pungkas Teguh yang juga Kabid Luar Negeri Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) itu.
(wip)
Sumber: Antaranews.com