(IslamToday ID) — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) memberikan rapor merah kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam periode 100 hari pertama mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Kabinet Jokowi-Ma’ruf merupakan kabinet kedua Jokowi, kabinet ini pun tidak memiliki target 100 hari kerja. Wajar jika kemudian sejumlah LSM memberikan raport merah untuk 100 hari Kabinet Jokowi-Ma’ruf.
“Ini dalam lima tahun ke depan arahnya kerja, kerja, kerja. Ini arahannya, nggak ada target 100 hari. Ini kan kita melanjutkan sebelumnya,” pungkas Jokowi di Istana Negara, Rabu (23/10/2019). (CNBC,23/10/20).
Catatan LSM
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada sembilan indikator memburuknya penegakan hukum dan HAM. Sembilan indikator itu ialah keamanan, kebebasan sipil, dwi fungsi ABRI, mandegnya kasus pelanggaran HAM, penghapusan hak rakyat dalam UU Omnibus Law, penghapusan izin IMB dan AMDAL, mengesampingkan aspirasi publik, operasi militer ilegal di Papua, dan pelemahan KPK. YLBHI menyimpulkan bahwa 100 hari Jokowi-Ma’ruf diwarnai oleh perampokan hak-hak rakyat demi membela oknum-oknum nakal dengan melanggar hukum dan HAM .
KontraS memberikan lima catatan untuk Jokowi-Ma’ruf yang pertama situasi HAM semakin dilemahkan, potret buram penegakan hukum, pelemahan demokrasi dan pengabaian HAM, tekanan terhadap kelompok, ormas yang menghambat perumusan Omnibus Law, stigmatisasi kebebasan berekspresi, upaya mendelegitimisasi HAM. Kesimpulan KontraS atas 100 hari pemerintahaan Jokowi-Ma’ruf ialah tidak mengedepankan penyelesaian pelanggaran HAM, justru melanjutkan impunitas pelanggaran HAM.
KontraS memberikan catatanya terhadap kasus tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo dalam demonstrasi September 2019. Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara tidak transparan, dalam penanganan kasus itu. Polda Sulawesi Tenggara hanya memproses pidana seorang polisi, sedangkan 6 lainnya hanya kena sanksi etik. (Tempo, 28/01/20).
LSM ketiga yang memberikan rapor merah ialah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Walhi menilai kebijakan investasi 100 hari Jokowi-Ma’ruf menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan hidup. Kebijakan yang menjadi catatan keras Walhi adalah penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan IMB melalui penerbitan omnibus law. Omnibus Law bertujuan mempermudah investasi tumbuh di Indonesia. Walhi menilai, upaya penghapusan instrumen tersebut justru mempertegas Jokowi sebagai sosok yang tidak peduli terhadap isu lingkungan.
Kegaduhan Politik
Secara politik kebijakan menteri-menteri Jokowi-Ma’ruf cukup kontroversi dan membuat gaduh masyarakat. Pada awal pelantikan Menteri Agama, Fachrul Razi berencana melarang penggunaan cadar di instansi pemerintah. Fachrul mengklaim itu sebagai langkah demi menjamin keamanan, setelah banyak dikritik Fachrul pun meminta maaf atas ucapannya meskipun dia juga tidak menganggap itu sebagai sebuah kesalahan. “Kalau itu menimbulkan beberapa gesekan-gesekan ya mohon maaf. Rasa-rasanya enggak ada yang salah rasanya. Mungkin saya mengangkatnya agak terlalu cepat,”(CNN, 28/01/20).
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo mengumumkan dihapusnya tenaga honorer. Jumlah tenaga honorer yang statusnya menggantung dan terancam kehilangan pekerjaan ada 1.070.092 orang. Pemerintah berdalih ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/2018 tentang Manajemen PPPK (turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara). Status kepegawaian pada Instansi pemerintah hanya ada dua, yaitu PNS dan PPPK, (Liputan6.com, 26/1/20).
Selain kebijakan-kebijakan menteri yang penuh kontroversi, Kabinet Indonesia Maju diisi oleh rangkap jabatan para menteri. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartanto misalnya selain menjadi menteri dia juga menjadi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar. Menteri berikutnya yang tidak kalah kontroversial adalah Yasonna Laoly, Yasonna hingga kini masih menjadi Ketua DPP Bidang Hukum dan Perundang-undangan PDIP. Status ini membuat Yasonna terlibat dalam penanganan kasus suap Komissioner KPU, Wahyu Setyawan dan kader PDIP Harun Masiku. Belum lagi sepak terjangnya selama menjadi menteri yang keluar masuk kabinet, dan anggota DPR.
Pencabutan Subsidi Rakyat
Pemerintah Jokowi menaikan 100% iuran BPJS per 1 Januari 2020. Kenaikan iuran BPJS ini ditetapkan oleh Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 pada 24 Oktober 2019, empat hari setelah dia dilantik menjadi presiden untuk periode keduanya.
Selain mencabut subsidi kesehatan pemerintah juga mencabut subsidi gas, listrik dan menaikan tarif tol. Tarif dasar listrik (TDL) akan naik pada April 2020, subsidi gas akan resmi dicabut pada Juli 2020. Sementara tarif masuk jalan tol naik pada Februari 2020, dan tarif cukai rokok naik 23% .
Lesunya Ekonomi dan Geliat Utang
Salah satu indikator lesunya perkonomian suatu negara ialah lesunya pendapatan negara dari sektor pajak. Penerimaan pajak sudah satu dekade, tepatnya sejak 2009 hingga 2019 ini tidak memenuhi target. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terakhir mencapai target penerimaan pajak pada tahun 2008 sebesar Rp 535 triliun, berhasil direalisasikan sebesar Rp 571 triliun. Penerimaan pajak tahun 2019 hanya mencapai 84,4% dari target atau senilai Rp 1.332,1 triliun dari target 1.577,6 triliun.
Selain itu nilai tukar rupiah sejak tahun 2014 terus melemah dari Rp 9.750 dan awal tahun 2020 ini menjadi Rp 13.878. Data dari BPS mencatat laju inflasi tahun 2019 3,02% cenderung turun dari tahun 2018 sebesar 3,07%. Oleh karenanya Kepala BPS Kecuk Suhariyanto pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat. Inflasi inti sangat ditentukan oleh interaksi permintaan dan penawaran, nilai tukar, harga komoditas dan inflasi mitra dagang, serta ekspektasi inflasi dari pedagang ke konsumen.
Pasar saham masih cenderung mengalami tekanan dengan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun 1,94%.Mengacu data BEI, posisi IHSG sebelum Jokowi-Amin dilantik atau pada penutupan Jumat (18/10/2019) berada di level 6.191, dan posisi IHSG pada penutupan sesi I hari Selasa ini (28/1/2020) berada di level 6.072, turun dengan selisih 119 poin atau minus 1,92%. ( CNBC, 28/1/20)
Utang negara pada tahun 2019 mencapai Rp 5.619,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS). Tahun 2020 negara harus membayar bunga utang Rp 295 triliun. Dan pembayaran pokok utang Rp 351 triliun. Total bunga dan pokok yang harus dibayar tahun ini Rp 646 triliun.(Akurat.Co, 30/1/20)
Penegakan Hukum dan HAM Memburuk
Mengutip laporan Era ID, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada sembilan indikator memburuknya penegakan hukum dan HAM.
Pertama, masalah keamanan. YLBHI melihat adanya perluasan definisi radikalisme menjadi intoleransi selama 100 hari pertama Jokowi-Ma’ruf Amin. Hal ini ditandai dengan terbitnya surat keputusan bersama (SKB) 11 kementerian dan lembaga tentang penanganan radikalisme dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan pada aparatur sipil negara (ASN). Selain definisi yang tidak jelas sehingga berpotensi pelaksanaan yang sewenang-wenang, SKB ini memperluas definisi radikalisme sehingga intoleransi masuk didalamnya.
“Tentu kita tidak suka dengan intoleransi tetapi mengkategorikannya sewenang-wenang akan memunculkan penanganan yang salah dan tidak menyelesaikan masalah. Hal ini juga ditunjukkan dengan melibatkan TNI dalam persoalan keamanan,” pungkas Asfinawati lewat keterangan tertulisnya, Rabu (30/1/2020).
Kedua, 100 hari kerja Jokowi-Ma’ruf Amin juga ditandai dengan semakin terbungkamnya kebebasan sipil. Hal tersebut terlihat saat Jokowi melemparkan pernyataan yang dinilai intimidatif dengan meminta BIN dan Polri “mendekati” Ormas yang menolak RUU Omnibus Law.
Padahal, menurut catatan LBH-YLBHI sebanyak 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum. “Data ini belum termasuk 21 orang yang ditangkap saat buruh melakukan aksi pada pidato Presiden 16 Agustus 2019,” tutur Asfinawati.
Ketiga, isu dwifungsi militer kembali terjadi. Belakangan, tidak sedikit unsur TNI dan kepolisian yang ditempatkan di berbagai jabatan kementerian dan lembaga.
Keempat, YLBHI menilai pemerintah kian melanggengkan impunitas penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Terbukti, hingga saat ini tidak adanya upaya penyidikan untuk menindaklanjuti dokumen penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang sudah dikirimkan Komnas HAM kepada Jaksa Agung.
Terkait dengan HAM, YLBHI juga mengkritik di 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin kian abai dengan masalah HAM. “Konsisten dengan pidato awalnya, Jokowi-Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya,” ujar Asfinawati.
Kekonsistenan itu terlihat dari pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD bahkan mencoba memelintir tentang apa yang disebut pelanggaran HAM dengan mengatakan tidak ada pelanggaran HAM di era Jokowi.
Bahkan belakangan Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. “Pernyataan kedua orang ini menggambarkan pilihan politik pemerintahan yang mengabaikan HAM,” tukasnya.
Kelima, pemerintahan Jokowi di awal periode keduanya ini dinilai merampok hak rakyat untuk segelintir orang dengan hadirnya sejumlah rancangan undang-undang Omnibus Law atau RUU sapu jagat.
Presiden Jokowi juga mendorong segera disahkannya draf Omnibus Law secara tertutup, bahkan ada pertemuan khusus antara Airlangga Hartanto selaku Menteri Perekonomian dan Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM dengan Ketua DPR, Puan Maharani pada Rabu 29 Januari 2020. Pertemuan dilakukan sebelum dilaksanakan pembahasan draf Omnibus Law oleh DPR.
Keenam, Jokowi berencana menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Amdal untuk mempermudah investasi. Padahal, menurut Asfina, dengan IMB dan Amdal saja sudah banyak terjadi perampasan tanah, air, rumah rakyat dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana.
Ketujuh, Jokowi-Ma’ruf Amin dinilai mengabaikan dan menghambat partisipasi publik. Salah satu contohnya, 100 hari pemerintahannya diisi dengan rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Kedelapan, yakni persoalan operasi militer ilegal di Papua. Asfina menyebut bahwa pemerintah tidak pernah mengakui melakukan operasi militer ilegal tetapi mengerahkan pasukan yang sangat banyak di Kabupaten Timika, Paniai, Puncak Papua, Puncak Jaya dan Intan Jaya.
“Akibat tidak adanya akuntabilitas untuk penurunan pasukan maka jatuh korban jiwa, pengungsi internal dan terganggunya aktivitas warga termasuk perayan Natal,” tandasnya.
Kesembilan, pemerintah dinilai tengah memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Hal ini terbukti dari revisi UU KPK dan tak kunjung diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undanh KPK.
Belakangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melakukan tindakan melanggar etika sebagai menteri dan terindikasi terlibat dalam penghalang-halangan proses peradilan dalam kasus dugaan suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Politisi PDI Perjuangan Harun Masiku.
“YLBHI-LBH berkesimpulan bahwa 100 hari Jokowi-Ma’ruf menunjukkan makin jelasnya perampasan hak-hak rakyat yang dapat mengarah pada kondisi ekstrem demi memfasilitasi segelintir orang untuk mengeruk sumber daya alam sebesar-besarnya, di atas pembangkangan hukum dan hak asasi manusia. Pencabutan hak rakyat dan Ddmokrasi di depan mata,” pungkas Asfina.
Selanjutnya, Melemahnya KPK pimpinan Firli Bahuri, kaburnya Harun Masiku kader PDIP. Keberadaan Dewan Pengawas KPK menjadi penghambat kinerja KPK dalam pengusutan kasus suap Komisioner KPU, Wahyu Setyawan dengan gagalnya penggeledahan kantor DPP PDIP.
Keseriusan pemerintah mengungkap kasus korupsi dana nasabah Jiwasraya yang nilainya mencapai Rp 13 triliun pun masih perlu dikawal bersama. Pasalnya, pengungkapan skandal korupsi Jiwasraya oleh Jaksa Agung bergerak lamban, terhitung sudah lebih dari sebulan sejak 17 Desember 2019 belum ada perkembangan berarti. Hal lain yang patut diwaspadai ialah sosok Jaksa Agung, ST Burhanudin yang masih adik kandung dari politikus PDIP TB Hasanudin. Bisa jadi penanganan kasus ini berhenti di tengah jalan atau bahkan tidak akan tuntas sama sekali.
Penulis: Kukuh Subekti
Red: Tori Nuariza