JAKARTA, (IslamToday ID) – Presiden Jokowi membuka lebar-lebar pihak swasta atau asing untuk mengelola aset infrastruktur milik negara. Tujuannya jelas yaitu untuk mencari keuntungan yang kemudian bisa dimanfaatkan sebagai modal pembangunan infrastruktur.
Dasar dari langkah Jokowi itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) No 32 Tahun 2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Hak Pengelolaan Terbatas yang sudah diundangkan pada 18 Februari 2020.
Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa badan usaha yang bisa mengelola aset negara adalah badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, dan koperasi.
Jokowi menjabarkan aset yang bisa dikelola, antara lain infrastruktur transportasi seperti pelabuhan, bandara, dan terminal bus. Kemudian infrastruktur jalan tol, sumber daya air, air minum, sistem pengelolaan air limbah, sistem pengelolaan sampah, telekomunikasi dan informatika, ketenagalistrikan, minyak, dan gas bumi.
Namun, bukan berarti semua bisa dikelola badan usaha. Jokowi memberikan sejumlah syarat khusus untuk aset negara yang bisa dikelola oleh badan usaha.
Syarat-syarat itu antara lain aset negara membutuhkan peningkatan efisiensi operasi sesuai dengan standar internasional yang berlaku umum dan memiliki umur manfaat aset infrastruktur paling sedikit 10 tahun.
Kemudian, aset itu telah diaudit dalam laporan keuangan kementerian/lembaga sesuai standar akuntansi pemerintahan, dan arus kas aset itu positif minimal dalam dua tahun berturut-turut.
Nantinya, perencanaan pengelolaan aset itu dilakukan oleh menteri atau kepala lembaga dan direktur BUMN. Penanggung jawab atas penggunaan barang milik negara itu dinamakan Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK).
Kemudian, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) bertugas menyusun perencanaan pengelolaan aset negara. Lembaga itu akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga.
Selanjutnya, perjanjian pengelolaan aset negara setidaknya memuat beberapa poin, seperti dasar perjanjian, identitas pihak yang terikat dalam perjanjian, objek pengelolaan aset, hasil pengelolaan aset, jangka waktu pengelolaan aset, besaran dana hasil pengelolaan aset, pencairan jaminan pelaksanaan, dan tujuan pemanfaatan aset.
Membukukan Keuntungan
Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata mengatakan banyak investor yang lebih tertarik menanamkan modalnya kepada aset negara yang secara catatan sudah membukukan keuntungan. Keuntungan tersebut dijadikan nilai tawar pemerintah kepada swasta untuk mengelola aset-aset negara.
Adapun aset negara yang bisa dikelola oleh pihak swasta dikenal dengan istilah sekuritisasi aset. Contohnya jalan tol yang semula dikelola oleh BUMN dan pengelolaannya diteruskan oleh swasta dengan jangka waktu yang ditetapkan.
“Sebetulnya hal itu tidak menjadi sesuatu yang istimewa. Di negara lain terjadi hal sama. Investor ingin kepastian yang lebih baik. Jadi misalnya jalan tol traffic sudah bagus, income operator sudah lancar selalu memenuhi target, mereka tertarik pada yang begitu. Sementara di sisi lain kita ingin membangun infrastruktur baru,” jelas Isa, Jumat (6/2/2020).
Dalam salah satu pasal di beleid yang baru ini, terdapat pernyataan harus ada badan yang mengelola dana pembangunan infrastruktur dari pengelolaan aset yang dimanfaatkan oleh swasta. Hanya saja hal itu belum diputuskan apakah membentuk badan baru atau meneruskannya kepada Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).
“Untuk menggunakan LMAN, sekarang kan tugas pertamanya optimalisasi aset negara. Kalau ditambahi fungsinya, makin banyak ragamnya, makin efektivitasnya sebagai optimalisasi aset negara (tertekan). Masih ada plus minus yang akan segera dituntaskan diskusinya. Tentu sambil dilihat inisiatif pemanfaatan hepat (hak pengelolaan aset terbatas) itu tadi,” ungkapnya.
Ancaman Diambil Alih
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengingatkan risiko kebijakan Jokowi yang mengizinkan asing mengelola aset negara bisa menjadi bumerang. Salah satunya, pengambilalihan sepenuhnya aset negara oleh asing dalam jangka panjang. “Kalau sudah begitu, hak-hak generasi yang akan datang terancam,” ujarnya, Rabu (11/3/2020).
Tak cuma itu, lanjut Trubus, asing berpeluang bekerja sama dengan oknum pemerintahan untuk memiliki aset negara secara permanen. “Ada potensi dijual dan penyalahgunaan wewenang,” imbuhnya.
Karenanya, pemerintah diminta untuk benar-benar menyeleksi pihak-pihak asing mana saja yang boleh mengelola aset-aset negara tertentu. Ia menyarankan agar aset yang dikelola oleh asing seminim mungkin.
Jangan sampai, sambung Trubus, pemerintah asal-asalan memberikan hak pengelolaan. “Jangan semua bisa dikelola asing. Kalau menyangkut hajat hidup orang banyak, jangan. Misalnya, energi,” jelasnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Lisman Manurung berpendapat sebaiknya asing dijadikan opsi terakhir untuk mengelola aset negara. Itu pun dengan syarat, badan usaha lokal tidak mampu. Dengan demikian, aset negara akan lebih aman di bawah kendali perusahaan swasta di dalam negeri.
“Memang seberapa besar urgensinya dikelola oleh asing? Kalau bisa lokal dulu, ya berikan ke lokal, asing terakhir,” kata Lisman.
Ia juga mewanti-wanti pemerintah dalam melakukan perjanjian bisnis dengan asing. Ia mengingatkan poin-poin yang bisa dipermainkan oleh asing untuk menguasai aset negara. “Perusahaan asing kelas dunia punya banyak pengalaman. Mereka bisa saja mengambil aset negara,” katanya.
Misalnya, ketentuan untuk tidak mempublikasikan isi perjanjian pengelolaan aset negara dalam kontrak. Dengan demikian, isi kontrak menjadi tidak transparan dan masyarakat sulit untuk mengawasi. “Padahal, semua pengelolaan aset negara harus transparan, harus terbuka,” terang Lisman.
Ia malah mengusulkan perencanaan pengelolaan aset negara melibatkan parlemen, sehingga prosesnya semakin selektif. (wip)
Sumber: Detik.com, CNNIndonesia.com, Republika.co.id