IslamToday ID Tidak transparannya penanganan corona virus (covid-19) di Indonesia terbukti. Pemerintah ternyata menyembunyikan persolan covid-19 yang mengancam nyawa rakyat Indonesia.
Hal ini terungkap dari SK perpanjangan starus darurat covid-19 yang dibacakan Kepala BPNB Doni Morando, Selasa kemarin (17/3/2020). SK tersebut ternyata ditandangangai 29 Februari 2020. Artinya, surat tersebut telah terbit dua hari sebelum presiden Jokowi secara resmi mengumumkan adanya kasus positif covid-19 pada 2 Maret 2020 lalu.
Rupanya, pemerintah telah menetapkan situasi darurat corona sejak 28 Januari 2020. Status darurat pertama ini berlaku sejak 28 Januari- 28 Februari 2020, yang dikeluarkan dalam rapat koordinasi pemulangan WNI Indonesia di Wuhan.
BNPB beralasan saat itu pemerintah perlu bekerja capat, sehingga Alasan tidak status darurat covid-19 yang pertama tidak diumumkan. Selain itu, juga atas kebijakan Menko PMK dan Kepala BNPB
“Karena saat itu kita perlu bekerja cepat, kita perlu dukungan opearasi darurat, sehingga atas kebijakan menko PMK disetujui untuk kepala BNPB memiliki kewenangan mengeluarkan status keadaan tertentu darurat penanggulangan penyakit covid. Sehingga ditentukan 28 Januari sampai dengan 28 Februari,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Agus Wibowo (17/3/2020).
Tidak transparannya penanganan corona virus di Indonesia ini turut dikhawatirkan negara tetangga, salah satunya Australia. Pemerintah Australia melarang warganya berkunjung ke Bali. Pemerintah Australia menghimbau agar warganya untuk berlibur di dalam negeri saja.
Dalam pertemuan dengan para pemimpin negara bagian Australia di Sydney belum lama ini, penangan corona virus di Indonesia turut disinggung. Mark Gowan, Menteri Utama negara bagian barat Australia, menduga pemerintah Indonesia telah melakukan under reporting tentang corona. Tuduhan tersebut berkaitan dengan laporan jumlah pasien virus corona yang disampaikan lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya.
“Jelas sekali ada under-reporting di Indonesia. Kita perlu mendapat saran yang benar dan segera mengambil langkah lebih jauh,” tutur Gowan
Kasus corona di Indonesia terus bertambah setiap harinya , per 18 Maret 2020 ada 227 kasus positif corona, 19 orang meninggal dan 11 orang sembuh.
Modifikasi Lockdown
Hampir setiap hari terus terjadi peningkatan kasus positif terjangkit corona, jumlah pasien yang meninggal juga bertambah. Presiden Jokowi pun didesak untuk segera menerapkan kebijakan lockdown atau kebijakan penutupan wilayah. Namun rupanya presiden masih enggan mengambil kebijakan tersebut. Presiden Jokowi memilih menetapkan kebijakan social distancing pada Ahad 15 Maret 2020 dan berlaku mulai Senin, 16 Maret 2020.
“Tidak ada kita berpikir ke arah kebijakan lockdown,” tutur Presiden Jokowi, Senin (16/3/2020).
Pada hari yang sama pemerintah mengadakan rapat dengan para pakar kesehatan. Rapat itu salah satunya membahas kemungkinan memodisikasi lockdown sebagai langkah pencegahan penyebaran virus corona.
Staf Khusus Presiden, Andi Taufan Garuda Putra mengatakan, bahwa rapat tersebut dihadiri oleh Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19, perwakilan pemerintah dan pakar kesehatan. Rapat tersebut sebagai tindak lanjut dari arahan presiden agar gugus tugas rapat dengan ahli kesehatan. Salah satu rekomendasi gugus tugas adalah memodifikasi lockdown untuk penangan corona virus.
“Pembatasan sosial yang lebih agresif seperti lockdown dapat diberlakukan di wilayah dengan kasus Covid-19 dan menjadi episenter, seperti Jakarta atau Jawa Barat,” ujarnya
Konsekuensi Lockdown
Hingga 18 Maret 2020 setidaknya sudah ada 13 negara memeberlakukan lockdown. Negara pertama yang memberlakukan lockdown setelah China ialah Italia. Pemerintah Italia menerapkan kebijakan ini pada 9 Maret 2020 dan akan berlangsung hingga 3 April 2020. Selang satu pekan Spanyol melakukan lockdown, kemudia disusul Perancis yang menerapkan lockdown mulai 17 Maret 2020.
Negara yang mengambil kebijakan lockdown berikutnya datang dari kawasan ASEAN. Antara lain, Filipina yang melakukan lockdown sejak Senin 16 Maret 2020. Disusul kemudian oleh Malaysia yang membelakukan lockdowen sejak 18 Maret sampai 31 Maret 2020.
Di kawasan benua Amerika, sejumlah negara juga melakukan lockdown, antara lain ada Argentina, Chili, Peru. Sedangkan di Benua Eropa ada Denmark, Irlandia, dan Lithuania. Di kawasan Asia Tengah ada Kazakhstan. Sementara itu, Australia berencana melakukan lockdown hingga enam bulan, terhitung sejak 18 Maret 2020.
Pilihan dan Resiko
Kendati demikian, para pakar berbeda pandangan terkait penetapan lockdown di Indonesia. Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler, UNAIR, Chairul Nidom meminta agar pemerintah tidak mengharamkan lockdown untuk membatasi penyebaran virus.
“Itu salah satu upaya untuk bisa melakukan pengendalian virus,” jelas Chairul (17/3)
Chairul mengatakan, lockdown dapat dilakukan secara parsial. Yakni, di daerah yang jumlah korban virus coronanya banyak. Namun dia mengingatkan kebijakan lockdown hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat.
Selaras dengan itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan bahwa perlambatan ekonomi akibat mewabahnya virus corona adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya yang semestinya dilakuakan oleh pemerintah adalah fokus pada keselamatan bangsa dari ancaman corona sebagaimana yang dilakukan oleh China, Italia dan negara lain.
“Menurut saya pemerintah sebaiknya fokus mengatasi peneybaran wabah dengan lockdown serta meningkatkan fasilitas kesehatan bagi masyarakat, artinya stimulus harus diprioritas untuk membiayai kesehatan masyarakat, bukan untuk menahan perlamabatan ekonomi, karena perlambatan ekonomi itu adalah keniscayaan,” tandasnya. (15/3/20)
Berbeda dengan Direktur INDEF, Eny Sri Hartati. Kebijakan lockdown perlu dipertibangkan dengan matang dan penuh kehati-hatian. Sebab, aktivitas ekonomi masyarakat di sektor informal akan terkena dampak paling siginfikan. Padahal, sektor informal ini menyumbang 40% dari gerak ekonomi secara nasional.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto