“Sampai kadang saya bertanya-tanya siapa yang harus lebih saya takuti: COVID-19 atau kesembronoan pemerintah?,”
-Ravio Patra-
IslamToday ID – Penangana corona virus di Indonesia dinilai penuh keragu-raguan dan tidak transparan..Pilihan pemerintah menerapkan social distancing, phisycal distancing hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ternyata tidak bisa menekan angka kasus dan meluasnya penularan.
Terlebih diikuti dengan kejanggan data yang disuguhkan kepada publik. Akibatnya, tidak hanya masyarakat yang menjadi korban. Puluhan tenaga medis meninggal dan ratusan lainnya tumbang dalam ‘perang’ karena terinveksi corona virus.
Rapuhnya PSBB
Sebelum menetapkan kebijakan PSBB pemerintah terlebih dahulu mengeluarkan Kepres No.11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19. Keluarnya Kepres disusul dengan keluarnya PP No.21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.
DKI Jakarta merupakan daerah yang pertama kali melaksanakan PSBB yang dimulai pada 10 April 2020. Selanjutanya disusul oleh Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Dan hingga 23 April 2020 sudah ada 2 provinsi dan 21 kabupten / kota di Indonesia menerapkan PSBB.
Dua provinsi tersebut meliputi DKI Jakarta dan Sumatra Barat, Kabuapten Kota yang dimaksudn adalah Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Depok, Kab. Bogor, Kota Bogor, Kab. Tanggerang, Kota Tanggerang, Kota Tanggerang Selatan, Kota Pekanbaru, Kota Makasar, Kab. Bandung, Kota Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi, Kab. Sumedang, Kota Tegal, Kota Banjarmasin, Kota Tarakan, Kota Surabaya, Kab. Sidoarjo, dan Kab. Gresik.
Dr. Febi Dwirahmadi dosen di Global Health, Griffith University Australia menilai ada beberapa poin yang keliru dalam penerapan PSBB. Ada tiga masalah utama yang ia temukan dalam praktik PSBB di Indonesia.
Pertama ialah proses birokrasi yang rumit terutama proses penetapan sepenuhnya berdasarkan persetujuan dari pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan. Pemda harus memenuhi beberapa persyaratan yang rumit dan tidak jelas parameternya.
Misalnya, Fakfak dan Sorong di Papua Barat, Mimika di Papua, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, dan Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur yang telah mengajukan, tapi ditolak oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat berargumen bahwa persetujuan dari pusat penting. Tujuannya agar tindakan yang dilakukan oleh pusat dan daerah dalam menangani penularan COVID-19 selaras dan efektif.
Namun dengan proses birokrasi yang cukup memakan waktu, saya ragu niat baik tersebut akan terwujud,” kata Febi (23/4/2020).
Waktu adalah segalanya dalam pencegahan COVID-19, keterlambatan keputusan pemerintah pusat bisa berdampak fatal terhadap persebaran wabah corona. Karena setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah pun masih butuh waktu untuk mensosialisasikan kepada masyarakatnya.
“Untuk memangkas birokrasi pemerintah bisa menerapkan PSBB secara serentak tanpa terkecuali atau lockdown total, hal ini terbukti efektif seperti di Australia,” imbuhnya
Kedua, penerapan PSBB di Indonesia tanpa berbasis riset. Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki perhitungan yang jelas. Pemerintah seharusnya harus lebih melibatkan peneliti dan ilmuwan, untuk memastikan bahwa kebijakan PSBB yang diterapkan benar-benar efektif.
Ketiga, bahasa yang rumit. Cara pemerintah mengkomunikasikan pandemic Covid-19 ke masyarakat banyak menuai kritik. Beberapa ahli mengatakan bahasa yang digunakan oleh pemerintah terlalu rumit dan tidak bisa dipahami oleh masyarakat. Padahal, keberhasilan dalam berkomunikasi memudahkan masyarakat untuk bisa mentaati anjuran yang disarankan oleh pemerintah.
“Jika masyarakat tidak mengerti pentingnya penerapan PSBB, bagaimana mereka bisa memahami pentingnya mematuhi anjuran pemerintah untuk membatasi gerak mereka,” imbuhnya.
Kebijakan Tanpa Riset
Sebelumnya, Peneliti Kebijakan Publik, Ravio Patra mengkritik pemerintah dalam menangani covid-19. Ia menilai, penyajian data kematian Covid-19 yang disampaikan oleh BNPB itu menyesatkan.
Menurutnya cara penyajian data yang berbeda akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Ia mengkritik pernyataan Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Agus Wibowo yang pada (15/4) yang menampilkan data statistik Covid-19 versi pemerintah di laman media sosialnya.
“Ada yang berbeda, data yang ditampilkan memuat satu kolom baru; rasio kematian per satu juta penduduk. Menurut Agus, dalam cuitannya, “beda cara mengolah dan penyajian data kematian, interpretasinya juga bisa beda. Anda suka penyajian yang mana? Jika suka CFR silahkan like dan jika suka kematian per 1 penduduk [sic.] silahkan retweet.”,” kata Ravio dalam artikelnya yang dimuat di Tirto.id pada (23/4/2020).
Ia berpendapat bahwa Agus sebagai pakar geospasial yang telah mengolah data publik di BNPB sejak 2012. Memestinya ia paham bagaimana kinerja ilmu statistika. Bahwa statistika bukan perkara yang bisa diotak-atik sesuka hati. Karena statistika berhubungan erat antara pengolahan, penyajian, interpretasi data, pengumpulan dan pengelolaan data.
“Sampai kadang saya bertanya-tanya siapa yang harus lebih saya takuti: COVID-19 atau kesembronoan pemerintah?,” jelasnya.
Bukti PSBB Gagal
Sebelumnya, sebulan yang lalu Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mehendra mengkritik kebijakan Pemberlakuan PSBB . Menurutnya kebijakan ini tidak prinsipil, sebab PSBB hanya membatasi mobilitas orang dan barang ke daerah kabupaten, kota tertentu.
Waktu itu Yusril sudah menyampaikan bahw yang didapat dari kebijkan ini hanyapeliburan sekolah, pekerjaan, pembatasan kegiatan ibadah dan kegiatan pertemuan umum. PP dan Kepres yang diterbitkan tidak menunjukan perbedaan yang menyolok seperti pelaksanaan social distancing yang sudah pernah dilakukan.
Rupanya, dugaan rusril terbukti. Kebijakan ini tidak mampu menekan angka kasus dan jumlah korban. Sebaliknya jumlah kasus terus bertambah begitu juga dengan jumlah korban meninggal.
“ Akhirnya kita akan melihat nanti apakah penerapan PSBB ini katakanlah diberi waktu dua minggu atau tiga minggu. Apakah dia berhasil mengurangi penyebaran Covid ini? Apakah angka pasien baru, angka meninggal itu berkurang atau nggak atau malah makin bertambah. Saya mengatakan bahwa pemerintah harus siap-siap mengevaluasi dan menyiapkan langkah-langkah berikut,” kata Yusril (13/4/2020).
Menurut Yusril, jika pelaksanaan PSBB ini tidak berhasil. Maka seharusnya, pemerintah harus menetapkan karantina wilayah. Terutama setelah resmi diterapkannya PSBB yang diketahui memiliki kelemahan-kelemahanJika terlalu lama akan semakin parah pengembangannya, secepatnya pemerintah mengambil persiapan.
“Kalau memang PSBB tidak berhasil, kan tidak ada pilihan kecuali harus menerapkan karantina wilayah. Dan karantina wilayah memang sangat berat bagi pemerintah, terutama bagi pemerintah pusat, semuanya akan dibebankan pembiayaan, anggarannya kepada pemerintah pusat tapi kalau misalnya PSBB gagal kita nggak punya pilihan kecuali harus menerapkan karantina wilayah itu dia masalahnya,” terang Yusril.
Namun demikian rupanya pemerintah memainkan siasat, Praktek PSBB di Jabodetabek sudah mengarah pada karantina wilayah. Tanpa harus menanggung kebutuhan warga sebagaimana diamanatkan dalam UU 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Salah satu kebijakan yang terasan adalah kebijkaan larangan mudik, yang kerarti memutus rantas mobilitas baik keluare maupun masuk ke Jabodetabek. Terlebih disejumlah daerah menyambutnya dengan membuat posko untuk menghalau para perantau yang hendak ‘mengungsi’ ke kampong halaman.
Alih-alih mencukupi masyarakat dengan bantuan dan menunjukan kebijakan penangana coroa efektif, pemerintah justru mengancam menjatuhkan denda Rp 100 juta bagi yang melanggar larangan mudik.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto
Editor: Arief Setiyanto