IslamToday ID — Kasus kebocoran data kembali terungkap, kali ini giliran lembaga milik pemerintah, Komisi Pemilihan Umum menjadi sasaran hacker, setidaknya ada 2,3 juta data pemilih yang bocor. Hal ini terungkap saat akun twitter Under the Breach mengunggah tiga hasil capture, tangkapan layar tentang bukti peretasan data KPU (21/5).
Berulang Kali Diretas
Bagi KPU kasus seperti ini bukan hanya baru kali ini saja terjadi, tahun 2019 tepatnya satu bulan menjelang Pilpres 2019, kasus yang sama pun muncul. Kala itu KPU mengumumkan, telah terjadi peretasan data milik KPU yang dilakukan oleh hacker (13/3/2019).
Meskipun KPU tidak menjelaskan dari mana asal hacker secara pasti, apakah dari dalam negeri atau luar negeri. Namun menurut KPU para peretas tersebut menggunakan IP (Internet Protocol) Address dari Cina dan Rusia. Untuk mengatasi hal tersebut KPU menjelaskan akan berkoordinasi dengan pihak Badan Intelijen Negara, Polri, dan Badan Sandi dan Siber Negara.
“Hacker (peretas) itu menggunakan IP Address dari mana aja. Ada IP Address dari banyak negara lah. Jadi bukan hanya China dan Rusia, enggak, dari banyak negara,” kata Ketua KPU Arief Budiman seperti dikutip dari Kompascom (14/3/2019).
Rupanya aksi peretasan data dan gangguan terhadap penyelenggaraan Pilkada yang diadakan KPU pada tahun 2020 ini juga pernah terjadi pada gelaran Pilkada 2018.
Meskipun penyelenggaraan Pilkada 2020 hingga kini masih menunggu kepastian masa pandemi Covid-19 ini berakhir. Namun hal ini bisa menjadi bukti bahwa KPU kerap diusik oleh aksi peretasan data yang terjadi secara berulang-ulang, bahkan jika ditelusuri ke belakang hal ini juga terjadi pada pemilu 2004 dan 2009. Begitu pula pada musim Pilpres 2014.
Fenomena peretasan yang selalu muncul ketika KPU tengah mengadakan hajat besar, pesta demokrasi ini menunjukan bahwa cyber security milik KPU begitu lemah. Kasus-kasus tersebut tentu akan berdampak pada turunnya integritas KPU sebagai penyelenggara pemilu yang terpercaya. Belum lagi kasus-kasus lain yang turut mencoreng nama KPU, tentu jika ini didiamkan terus-menerus, masyarakat akan mempertanyakan keakuratan hasil pemilu baik pilkada, pilpres maupun pemilihan legislatif.
Skandal Suap Komisioner
Sejak awal tahun 2020 lalu, misalnya, tertangkapnya Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dalam OTT KPK pada (8/1) tengah menjadi sorotan masyarakat. Komisioner KPU tersebut terlibat dalam skandal yang dilakukan oleh Kader PDIP, Harun Masiku. Keduanya terlibat dalam kasus dugaan suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024.
Hingga kini kasus membuat Harun Masiku berstatus buron, bahkan sudah lima bulan lamanya terhitung sejak Januari hingga Mei. Kasus ini diawali dengan penetapan Harun sebagai PAW untuk menggantikan Nazaruddin Kiemas yang meninggal sebelum hari pemungutan suara (27/3/2019), dan surat suara sudah tercetak. PDIP mengusulkan agar Harun Masiku ditetapkan sebagai PAW menggantikan Nazaruddin Kiemas. Sementara di saat yang bersamaan di dapil tersebut, Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I terdapat caleg PDIP lain yang suaranya lebih tinggi yakni Riezky Aprilia.
Untuk menetapkan Harun sebagai PAW, PDIP melakukan beragam cara mulai dari melakukan gugatan uji materi terhadap Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara hingga melobi Riezky Aprilia agar bersedia mundur dari keanggotaannya di DPR.
Melalui ketetapan MA tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan yang disampaikan oleh pengurus DPP PDI-P melalui advokatnya Donny Tri Istiqomah, di mana partai menjadi pihak yang menentukan nama yang akan menyandang status PAW.
Skandal Pelanggaran Kode Etik
Belum selesai kasus yang melibatkan eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dan kader PDIP, Harun Masiku tersebut hingga kini masih berjalan. Masyarakat dihebohkan dengan skandal pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh eks Komisioner KPU, Evi Novida Ginting Manik.
Akibatnya, dua dari tujuh anggota komisioner KPU itu kini terbukti terlibat dalam skandal pemilu di Indonesia. Dan keduanya pun akhirnya dipecat, dari jabatannya sebagai Komisioner KPU. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga memberikan peringatan keras kepada Ketua KPU dan empat komisioner KPU yang masih ada.
“Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras Terakhir kepada Teradu I Arief Budiman selaku Ketua merangkap Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia,” kata Pelaksana Tugas(Plt) Ketua DKPP Muhammad (18/3).
Dengan dipecatnya dua komisioner KPU, selain melemahkan integritas KPU juga menjadi sinyal adanya praktik kecurangan yang terjadi dalam tubuh KPU selama Pilpres 2019 lalu. Bahkan menurut, pengamat politik, Muslim Arbi rakyat pun semakin mengetahui bahwa KPU diisi oleh orang-orang yang tidak jujur.
“Bobrok KPU mulai terbongkar mulai dari Wahyu Setiawan, sekarang Evi Novida Ginting. Keduanya dipecat. Ini menjadi indikasi kuat kecurangan Pilpres 2019. Kerja KPU kolektif kolegial tentunya keputusan seorang komisioner tidak bisa dilepaskan keputusan bersama komisioner lainnya,” kata Muslim Arbi (19/3/2020).
Bocornya Data Pemilih
Bocornya 2,3 juta data terbuka milik KPU yang berisi data warga negara Indonesia menurut pakar keamanan siber, Pratama Persadha akan menimbulkan kekacauan baru jika tidak segera diatasi. Belum lagi jika data-data tersebut dijadikan satu dengan data milik Tokopedia dan Bukalapak yang sudah lebih dulu diretas.
Hal ini akan sangat berbahaya jika disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, mengingat di dalamnya terdapat Nomor KTP dan KK.
“Nomor KTP dan KK bersamaan misalnya bisa digunakan untuk mendaftarkan nomor seluler dan juga melakukan pinjaman online bila pelaku mahir melengkapi data,” ujar Chairman lembaga riset siber Indonesia CISSReC (Communication & Informatian System Security Research Center), Pratama (22/5/2020).
Pemerintah seharusnya tetap melindungi data tersebut, minimal dengan cara dienkripsi. Sehingga tidak sembarang orang bisa memanfaatkan data, karena didalamnya terdapat No KTP dan KK. Apalagi untuk verivikasi data DPT hanya perlu menggunakan NIK. Ia pun meminta agar pemerintah tidak menyimpan data-data tersebut menjadi satu.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza