IslamToday ID — Sejak ‘mengemban tugas’ tahun 2014 lalu, hingga saat ini BPJS terbelit defisit. Pemerintah juga tampak kewalahan menambal sulam defisit yang dialami BPJS. Beragam ‘jurus’ dikeluarkan pemerintah untuk menolong badan penyelenggara jaminan kesehatan ini, seperti menaikkan cukai rokok, hingga menaikkan iuran peserta BPJS.
BPJS memegang memiliki peran penting, sebab merupakan salah satu dari lima program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang meliputi, Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian sebagaimana diamanatkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Berdasarkan UU No.24/2011, modal awal BPJS bersumber dari APBN.
BPJS sejatinya adalah PT. Askes, kemudian berubah menjadi BPJS. BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015. Kemunculan BPJS menandai berlakunya Sistem Jaminan Sosial terbaru Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dilansir dari bpjs-kesehatan.go.id (23/10/2014), dengan adanya JKN, seluruh masyarakat Indonesia akan ‘dijamin’ kesehatannya. Mulanya iuran fasilitas kelas I ditetapkan Rp 59.500 per orang per bulan, fasilitas kelas II Rp 42.500 per orang per bulan dan kelas III Rp 25.500 per orang per bulan. Ada sebagian warga miskin yang iurannya ditanggung pemerintah, atau dikenal dengan istilah Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Dari data BPJS Kesehatan, jumlah peserta pada 2014 sebanyak 133.423.653 jiwa, tahun 2015 mencapai 156.790.287 jiwa dan 2016 menyentuh 171.939.254 jiwa. Memasuki tahun 2017, jumlah peserta naik menjadi 187.982.949 jiwa. Tahun 2018 jumlah peserta BPJS mencapai 208.054.199 jiwa. Sampai dengan 19 Mei 2019, jumlah tersebut meningkat menjadi 221.580.743 jiwa dan kemudian hingga 30 April 2020 jumlah peserta BPJS kesehatan tercatat 222,94 juta orang.
Hingga awal tahun 2019, fasilitas kesehatan BPJS hampir mencapai 28 ribu unit. Pada tahun yang sama ratusan Rumah Sakit (RS) ‘putus kontrak’ dengan BPJS. Mencuat kabar, pemutusan kerjasama tersebut lantaran defisit yang dialami BPJS. Akan tetapi, BPJS berdalih pemutusan kerjasama itu lantaran fasilitas kesehatan belum mengantongi akreditasi.
Namun memang faktanya, sejak berdiri tahun 2014 BPJS mengalami defisit. Tahun 2014 angka defisit BPJS mencapai Rp 3,3 triliun. Tahun 2015 merangkak naik 5,7 triliun. Defisit kembali naik di tahun 2016 sebesar Rp 9,7 trilun. Tahun 2016 defisit kembali dialami, besarnya mencapai Rp 13,5 triliun (2017). Tahun 2017 defisit mencapai Rp 19 triliun (2018). Parahnya, defisit di tahun 2019 menunjukan angka yang fantastis, Rp 32 triliun.
Beragam ‘jurus’ dikeluarkan pemerintah untuk menolong badan penyelenggara jaminan kesehatan ini, seperti menaikkan cukai rokok, hingga menaikkan iuran peserta BPJS. Pemerintah tercatat dua kali mencoba menaikan iuran BPJS. Pertama, dengan Perpres No.75/2019, kemudian dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Namun, pemerintah tetap ngotot menaikan iuran peserta BPJS dengan mengeluarkan Perpres No.64/2020 pada 5 Mei lalu.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan penyebab defisitnya BPJS terdapat tiga faktor yakni permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri (PBPU), dimana sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian menunggak iuran, seperti dilansir Gatra, (13/3/2020).
“Terjadinya over-payment karena kelas rumah sakit yang tidak sesuai hasil piloting pada 2018 mendapatkan 4 dari 6 rumah sakit mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya. Akibatnya, terdapat over-payment sebesar Rp33 miliar per tahun,” kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK Jakarta, Jumat (13/3).
Selain itu lanjut Ghufron ditemukan adanya fraud seperti up-coding dalam analisa, re-admisi phantom billing, unbundling dan lain sebagainya. KPK pun memberikan sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit.
Defisit disebabkan adanya keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan (faskes). Belum lagi kolektabilitas iuran hanya ±50 persen pada segmen peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU). Dengan nilai tunggakan peserta mandiri mencapai Rp 5,6 triliun atau sekitar 45 persen.
Defisit keuangan yang terjadi pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat ditekan dengan perbaikan kebijakan.
KPK menyampaikan hasil kajian Tata Kelola Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan bahwa apabila serangkaian perbaikan kebijakan dan sistem tata kelola dijalankan menurut perhitungan KPK, total bisa menghemat 12,2 triliun, dengan cara penurunan pengeluaran BPJS Kesehatan, hal ini disampaikan pada 13 Maret 2020 lalu.
“Selama ini BPJS Kesehatan selalu defisit, dan proyeksi ke depan semakin besar jadi kami lakukan kajian apa solusinya selain kenaikan iuran, jadi ini opsi-opsi yang bisa dilakukan pemerintah secara struktural, sebagian besar ada di tingkat kebijakan,” ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, di Kantor KPK Jakarta, Jumat (13/3/2020).
“Hasil review Kemenkes tahun 2018 dari 7 ribu RS ditemukan 898 RS yang tidak sesuai kelas. Jika dilakukan perbaikan penetapan kelas, terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,6 T. Sehingga, total minimum penghematan pengeluaran klaim sebesar Rp12,2 triliun,” katanya.
“Kalau seluruh masalah ini rekomendasinya dijalankan pemerintah, dari perhitungan kami total Rp 12,2 triliun bukan berupa uang tambahan tetapi penurunan pengeluaran BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Jumlah ini cukup signifikan karena BPJS Kesehatan mencatatkan defisit sekitar Rp 30 triliun.
Baca juga : Carut Marut BPJS? Catatan Kelam Jaminan Kesehatan Dari Masa ke Masa
Baca juga : KPK Ungkap Buruknya Sistem Tata Kelola BPJS
Gagasan dan Implementasi
Pakar Hukum Pidana, Dr. Muhammad Taufiq mengatakan, gagasan pembentukan BPJS mencerminkan welfare state, yakni negara yang mensejahterakan. Di Indonesia konsep welfare state diatur dalam pasal 34 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Kewajiban mensejahterakan rakyat ini juga diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
“Memang ide awalnya BPJS itu sebenarnya bagus. Meng-cover masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa menikmati layanan kesehatan yang prima di semua rumah sakit khususnya kluster C dengan secara murah,” kata Taufiq kepada IslamToday ID.
Namun demikian, dalam prakteknya terjadi disorientasi. BPJS tidak berorientasi untuk mensejahterakan masyarakat, karena konsep yang dibangunnya adalah menjadi ‘perusahaan’. Sebagai perusahaan BPJS berorientasi pada dua hal yakni benefit (keuntungan) dan efisiensi.
Orientasi itu didukung dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan masyrakat menjadi peserta BPJS. Selain itu juga dengan kebijkan potong gaji per orang baik dari kalangan pegawai ASN maupun pegawai swasta. Dukungan ini seharusnya memperbesar peluang untung BPJS, tapi sebaliknya BPJS justru mengalami defisit sejak berdiri.
“Tetapi secara faktual karena manajemennya itu buruk, karena tidak memiliki kesiapan data,” ujarnya
Hal kedua yang mendasari kegagalan BPJS adalah gagalnya sistem akuntabilitas. Terjadi kemacetan penagihan oleh rumah sakit-rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS. Hal ini bisa dibuktikan, misalkan di lingkungan RS PKU Muhammadiyah, ada 300 miliar yang tidak tertagih.
Sehingga terjadi disorientasi, BPJS yang digadang-gadang tidak untuk membebani masyarakat dan bukan mengejar profit oriented, sekarang ini mengalami perubahan demi menutupi defisit anggaran yang dialami oleh BPJS.
Taufiq meyakini ada mis-manajemen, sehingga BPJS mencari alasan menabrak hokum untuk menambal defisit. Salah satu hukum yang ditabrak adalah Keputusan Mahkamah Agung yang meminta revisi kembali ke tarif awal BPJS.
“Salah satu yang ditabrak adalah keputusan Mahkamah Agung yang meminta revisi kembali tarif BPJS kembali ke tarif awal. Tapi faktualnya itu kan tidak ditaati malah muncul peraturan terbaru yang langsung menaikan tarif BPJS,” ungkapnya.
Dari fakta-fakta di atas BPJS telah gagal mengcover kesehatan masyarakat, dan gagal memenuhi tujuan idealnya membuat biaya layanan rumah sakit murah. Apalagi, saat ini tingkat layanan BPJS yang semakin kecil, karena penyakit-penyakit berat seperti jantung, kanker, liver itu sudah tidak lagi dicover oleh BPJS.
Langkah Perbaikan
Setidaknya ada dua langkah perbaikan yang harus ditempuh untuk memperbaiki BPJS. Pertama melakukan proses audit oleh BPK. Setelah itu dilanjutkan dengan studi forensik keuangan atau penyelidikan tentang keuangan.
“Jika tidak demikian maka negara menjadi tidak terkontrol. Sudah perusahaannya rugi, rakyatnya tidak sejahtera, membebani terus itu yang tidak bener. Dan pola-pola ini terjadi terus menerus,” ujar Taufiq.
Lebih lanjut Taufiq menambahkan, perlunya langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus ini KPK dapat melakukan langkah strategis untuk mengaudit kerugian, terutama ketika menemukan kejanggalan dalam kasus defisit BPJS. Sebab, KPK merupakan lembaga superbody yang memiliki fungsi sebagai polisi, jaksa dan hakim yang bisa menyelidiki kasus-kasus keuangan lembaga negara yang terlihat janggal.
“Dia (KPK) disebut superbody apa, karena dia bisa mengambil alih persoalan-persoalan korupsi yang sedang disidik oleh institusi lain. Jadi dalam hal ini kalau BPK terlibat itu dalam rangka menghitung kerugiannya, tapi kalau melakukan penyelidikan jelas bisa karena sangat mudah,” tutur Taufiq.
Dalam kondisi demikian, seharusnya BPJS segera diaudit. Pemungutan iuran sementara dihentikan hingga audit selesai dilakukan.
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza