IslamToday ID — Revisi atas Undang Undang Mineral dan Batubara (Minerba) akhirnya disahkan tanggal 12 Mei 2020 kemarin. UU Minerba yang baru ini dinilai memperkokoh oligarki dan korporatokrasi. Lolosnya RUU Minerba menjadi bukti demokrasi hanya berjalan secara prosedural dan meninggalkan subtansinya.
Ekonom Senior Faisal Basri, bahkan menilai UU Minerba yang baru bagai moster yang ia sebut ‘Despotic Leviathan’. ‘Monster jahat ini memegang pedang yang membahayakan sekaligus dsitangan lainnya memegang ‘tongkat kekuasaan’.
Menurut Faisal, monster ini lahir dari kekuatan besar yang ada di dalam dan di luar pemerintahan. Mereka bersatu padu dengan luar biasa, dengan tujuan melemahkan negara. Negara yang seharusnya memperjuangkan kepentingan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, menjadi sulit bahkan tidak berdaya.
Jika ditengok, sebenarnya tidak ada urgensi dari revisi atas UU No.4/2009 tentang Minerba. Urgensi revisi RUU itu hanya satu, demi masa depan segelintir pemilik tambang yang hendak habis masa ijinnya di tahun 2021, 2022, dan 2025.
“Darurat buat beberapa perusahaan tambang besar yang menguasai 70 persen produksi nasional. Jadi, bukan darurat buat republik, bukan buat rakyat, tapi darurat buat “mereka”. Ini ibarat karpet merah bagi mereka,” ujar Faisal Basri seperti dilansir dari lakadata id, Senin (1/6/2020)
Memang batubara merupakan yang menjanjikan keuntungan besar. Menurut Faisal rata-rata produksinya mencapai 500 juta ton. Angka produksinya juga selalu melebihi target yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, RUU Minerba dikebut.
Pembahasan RUU Minerba dalam waktu singkat dan tergesa-gesa ditengah pandemi COVID-19, menyiratkan kejanggalan. RUU ini lebih tampak seperti mencari kesempatan dalam kesempitan. Mulusnya RUU minerba hingga disahkan tidak lepas dari tangan kekuasaaan.
Faisal mengatakan, mungkin saja partai-partai yang mengisi kursi-kursi kekuasaan di negeri ini memiliki kepentingan, secara langsung ataupun tidak langsung dengan batubara. Oleh karena itu, disahkannya RUU Minerba menandai makin kokohnya oligarki kekuasaan dan pengaruh perusahaan swasta atas negara.
Kemunculan RUU Minerba hingga disahkan menandakan adanya kelompok-kelompok tertentu yang bisa menentukan masa depan negara. Mereka dapat mendikte presiden atau gubernur dan akhirnya menimbulkan ketimpangan.
“Efeknya adalah memperkokoh oligarki, juga korporatokrasi dan melemahkan demokrasi substansial. Jadi, efeknya bukan sektoral, tapi sudah sampai memperlemah posisi negara,” ujarnya.
Demokrasi kita jadi sekadar prosedural. Pemilu akan jalan terus dan pergantian pemerintahan terjadi secara rutin. Tapi, yang menentukan mereka semua. Jadi, undang-undang ini mewujudkan despotic leviathan,” imbuhnya.
Di sisi lain, UU Minerba yang baru mempercapat eksploitasi tambang. Kerusakan alam secara besar-besaran pasti terjadi. Terlebih batasan luas lahan tambang 15.000 hektar dihapuskan Akibatnya generasi mendatang hanya akan mewarisi lubang-lubang sisa tambang.
Protes 25 LSM
Meskipun telah diundangkan 12 Mei 2020 lalu, 25 LSM bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil berusaha menghalau berlakunya UU Minerba yang baru. Mereka menggelar ‘Sidang Rakyat’ untuk menggugat dan mendelegitimasi Undang-undang (UU) Minerba. “Sidang Rakyat” dilaksanakan 29 Mei hingga 1 Juni 2020 kemarin. .
Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil membentuk pula suatu gerakan yang diberi nama #Bersihkan Indonesia. Gerakan ini menolak rancangan UU Minerba yang baru yang dinilai menguntungkan sebagian pihak. Karena dituding telah mempermudah kepentingan para oligarki batubara di Indonesia.
Sidang Rakyat sejatinya sebuah bentuk protes atas kepedulian mereka terhadap isu sosial, kesehatan dan lingkungan terutama bagi mereka yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan. Pengesahan UU Minerba di tengah situasi pandemi COVID-19 ini dinilai tidak transparan dan terburu-buru.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, mengungkapkan bahwa penyususunan undang-undang tersebut tanpa melibatkan rakyat di dalamnya. UU Minerba yang baru ini, menjadi indikator bahwa pemerintahan yang ada saat ini cenderung otoriter.
“Banyaknya rakyat dari berbagai wilayah lingkar tambang pada sidang ini membuktikan, mereka tidak diajak bicara saat DPR mengesahkan UU Minerba itu, sehingga tidak sah dan tidak memiliki legitimasi,” ungkap Merah (29/5/2020).
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza