IslamToday ID –Kasus penyiraman air keras terhadap Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan pada 11 April 2017 lalu diyakini sebagai ‘operasi’ yang sistematis. Namun, jaksa mencoba menutup kasus ini dengan hukuman ringan. Dua terdakwa yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis yang merupakan anggota polisi hanya dituntut hukuman 1 tahun penjara.
“Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, dua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette selama 1 tahun dengan perintah supaya terdakwa tetap ditahan,” kata jaksa (11/6/2020).
Sebelumnya pada (10/5) lau Tim Advokasi Novel Baswedan mengungkapkan menemukan ada sembilan kejanggalan dalam proses persidangan kasus tersebut. Kejanggalan pertama ialah terkait isi dakwaan yang yang disampaikan JPU. Isi dakwaan JPU menganggap kasus yang dialami Novel hanyalah penhaniayaan biasa dan tidak berkaitan dengan pekerjaan Novel sebagai seorang penyidik KPK.
Kedua, Tim Advokasi Novel menilai bahwa JPU tidak menjadi representasi negara mewakili kepentingan korban. Sebaliknya JPU tampak membela kepentingan terdakwa. Hal ini terbukti dari dakwaan JPU yang menyebut air keras dengan air aki. Pernyataan ini dinilai sesat karena faktanya Novel terbukti disiram air keras bukan air aki.
Ketiga, Tim Advokasi menilai sikap majelis hakim pasif dan tidak obyektif dalam kebenaran. Hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, terutama membuktikan jika kasus ini dilakukan secara sistematis.
Keempat, para terdakwa yang merupakan anggota polri didampingi kuasa hukum dari Polri. Menurut Tim Advokasi hal ini janggal karena kasus yang menjerat keduanya adalah kasus yang mencoreng institusi Polri.
Kelima, Tim Advokasi menduga ada manipulasi bukti persidangan. Misalnnya, keberadaan rekaman CCTV yang dihiraukan oleh penyidik. Selain itu dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting serta sidik jari yang tidak teridentifikasi pada gelas dan botol yang dijadikan alat penyiraman.
Keanehan barang bukti juga terlihat, barang bukti berupa baju muslim yang dikenakan oleh Novel pada saat penyiraman tampak terpotong dan hilangnya bagian depannya . Terutama yang menunjukan bekas siraman air keras.
Keenam, jaksa dinilai mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk menyiram Novel. Bahkan jaksa mengarahkan bahwa air yang digunakan untuk penyiraman bukan air keras.
Ketujuh, kasus kriminalisasi Novel yang kembali diangkat. Dengan adanya gerakan memojokan Novel dalam kasus pencurian sarang wallet di Bengkulu, selama proses persidangan berlangsung. Bahkan oleh Ombudsman pada tahun 2015 menyatakan bahwa kasus tersebut terdapat rekayasa dan manipulasi.
Kedelapan, dihilangkannya alat bukti saksi dalam berkas persidangan. Keterangan saksi kunci yang namun BAP-nya tidak disertakan dalam berkas pemeriksaan persidangan. Kesembilan, ruang pengadilan dipenuhi oleh aparat kepolisian beserta orang-orang yang tampak dikoordinasikan untuk ‘menguasai’ ruang persidangan dalam sidang pemeriksaan saksi korban pada persidangan
Tim Advokasi Novel menilai persidangan kasus tersebut justru menutupi dugaan keterlibatan aktor intelektual. Selain itu juga mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis.
“Kami menuntut Presiden Joko Widodo untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen,” ujarnya.
Sementara itu, Novel mengaku tak kaget dengan tuntutan yang rendah yang disampaikan jaksa. Ia telah menduga bahwa tuntutan lemah itu akan muncul. Gelagat itu telah dicium novel sejak sejak proses penyidikan dan awal persidangan. Bagi Novel, tuntutan jaksa tersebut membuktikan betapa rusaknya hukum di Indonesia.
“Selain marah, saya juga miris karena itu menjadi ukuran fakta sebegitu rusaknya hukum di Indonesia. Bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan? Pemerintah tak pernah terdengar suaranya,” ujarn Novel dalam keterangan tertulis, Kamis (11/6/2020).
Penulis: Kukuh Subekti, Arief Setiyanto