IslamToday ID – Penegakan hukum di Indonesia dinilai ‘memprihatinkan’, misalnya penanganan kasus novel Baswedan. Hal ini berbanding terbalik dengan penanganan kasus penyerangan terhadap Menko Polhukam tahun 2014-2019, Jendral TNI (Purn) Wiranto.
Sidang tuntutan kasus penyiraman terhadap Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan dan sidang tuntutan kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto digelar pada hari yang sama, 11 Juni 2020.
Dalam sidang tuntutan itu, dua terdakwa penyerangan air keras terhadap Novel merupakan anggota polisi aktif. Jaksa hanya menjatuhkan tuntutan 1 tahun penjara. Sementara untuk terdakwa penusukan terhadap Wiranto dituntut hukuman sebanyak 16 tahun penjara.
“Sidang pembacaan tuntutan terhadap perkara penusukan terhadap Bapak Wiranto telah dibacakan pada hari Kamis, 11 Juni 2020, dengan tuntutan kepada terdakwa Syahrial Alamsyah alias Abu Rara pidana penjara selama 16 tahun,” kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Barat Eko Aryanto (16/6/2020).
Dampak Penyerangan
Masyarakat juga turut membandingkan dampak penyerangan air keras yang dialami Novel Baswedan dan penusukan yang menimpa Wiranto. Penyidik KPK, Novel Baswedan mendapatkan luka serius akibat penyiraman air keras yang terjadi pada 11 April 2017 lalu.
Serangan itu telah mengakibatkan mata kiri Novel buta permanen. Tidak hanya itu, pengelihatan mata kanan juga tidak sempurna. Dengan lensa khusus, daya pengelihatan mata kanan novel hanya mampu kembali 60 persen. Artinya dampak ditimbulkan dari aksi penyerangan dengan air keras itu benar-benar menimbulkan luka serius pada Novel Baswedan.
“Tim dokter yang selama ini menangani mata Novel menyatakan kondisi mata kiri tidak dapat diperbaiki lagi, karena kerusakan sebagian besar retina. Mata kanan membutuhkan perawatan berkelanjutan untuk mencegah terjadinya penurunan kemampuan melihat,” Plt juru bicara KPK, Ali Fikri (7/2/2020).
Lain halnya dengan dampak penyerangan yang dialami Wiranto pada 10 Oktober 2019 lalu. Wiranto tidak mengalami luka tusuk yang dalam. Bahkan dokter pun mengatakan bahwa luka tersebut tidak terlalu parah.
Dalam hitungan bulan Wiranto telah pulih dan bisa kembali beraktivitas. Wiranto bahkan bisa hadir pada pelantikannya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 13 Desember 2019 lalu.
Komitmen Penegakan Hukum
Waktu pengusutan kasus yang menimpa Wiranto terhitung lebih cepat. Kurang dari setahun sudah digelar sidang tuntutan. Berbeda dengan kasus Novel yang terkesan berbelit-belit. Bahkan kepolisian butuh waktu lama untuk menangkap tersangka. Tidak hanya itu kasus Novel sempat mengendap kurang lebih 2,5 tahun lamanya.
“Anda tidak harus menjadi seorang pakar atau akademisi untuk menilai betapa bobroknya proses hukum dalam upaya mencari keadilan bagi Novel Baswedan,” ujar Ketua Ikatan Mahasiswa Kota Banda Aceh, Lazuardi Imam Pratama (16/6/2020)
Imam juga mengatakan bahwa para penguasa dan penegak hukum di Indonesia bukanlah orang-orang bodoh. Mereka pasti memahami dasar-dasar hukum dan azas-azas keadilan. Namun masyarakat sudah bersikap skeptis terhadap para aparat penegak hukum dalam kasus Novel Baswedan.
Sementara itu pihak istana juga terkesan acuh dengan hasil persidangan kasus Novel Baswedan. Menurut keterangan dari Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adiansyah, bahwa Presiden Jokowi tidak berhak mengintervensi jalannya persidangan. Termasuk tuntutan satu tahun penjara yang dibacakan oleh jaksa.
“Presiden tidak bisa mencampuri urusan judisial, paling hanya memberikan dorongan penguatan agar keadilan ditegakkan dan bisa memuaskan semua pihak. Jadi saya kira gunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah itu,” ucap Donny (16/6/2020).
Sikap istana tersebut dinilai oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Universitas Andalas Feri Amsari sebagai tindakan lari dari tanggungjawab. Masyarakat tidak meminta presiden untuk melakukan intervensi terhadap jalannya persidangan kasus penyiraman terhadap Novel. Hanya saja Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa keberjalanan proses hukum berlangsung secara adil.
“Presiden perlu memastikan siapa yang akan menjalankan proses hukum itu dan bagaimana dia menjalankannya, sehingga upaya mewujudkan keadilan untuk sedikit luas bisa terwujud. Jadi jangan presiden salah pahami, bahwa Istana bukan tidak boleh ikut campur. Istana itu bukan mencampuri untuk mengubah fakta, itu baru enggak boleh,” tegas Feri (15/6/2020).
Penulis: Kukuh Subekti