IslamToday ID Dalam beberapa tahun terakhir keberadaan buzzer dikeluhkan. Aktifitas buzzer dinilai membuat kebisingan, bahkan dikhawatirkan menyebabkan terjadinya disinformasi pada masyarakat. Selain itu, aspirasi otentik masyarakat dinilai terancam dengan aspirasi rekaan para buzzer.
Habitat para buzzer mulanya bukan di kolam politik. Klara Esti, peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mengungkapkan, tahun 2009 merupakan awal keberadaan buzzer di Indonesia. Mulanya mereka dipakai untuk memperkuat promosi merek dan produk di media sosial. Tak jarang pula jasa para buzzer digunakan untuk mendongkrak popularitas selebritis
Klara mengungkapkan, responden dalam riset yang dilakukan CIPG tahun 2017 mengungkapkan, saat itu jasa buzzer masih terbilang murah. Satu paket jasa buzzer yang terdiri sepuluh kicauan dapat dihargai Rp800 ribu hingga Rp1,6 juta.
Keterlibatan buzzer dalam dunia politik dimulai pada tahun 2012, pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jasa buzzer juga digunakan dalam pilpres di tahun 2014, hingga saat ini.
Proyek Miliaran
Mohammad Rinaldi Camil peneliti CIPG menuturkan, sejak Pilgub DKI Jakarta tahun 2012, penggunaan jasa buzzer dikacah politik mulai masif Hampir semua momentum pemilu selalu menggunakan jasa buzzer. Ia juga mengungkapkan pula bahwa sejak tahun 2014, jasa buzzer telah menjadi industri yang ‘mapan’.
Buzzer digunakan untuk memoles citra partai dan kandidat politik. Dalam dunia politik jasa buzzer cukup fantastis. Satu proyek yang didapat bisa bernilai mencapai Rp 3 miliar untuk satu bulan.
“Sedangkan tenaga-tenaga perorangan hingga ke tingkat koordinator dihargai dengan kisaran nilai Rp3 juta hingga Rp6 juta selama sebulan,” kata Rinaldi dikutip dari vice.com (15/6/2020).
Selain untuk mendongkrak popularitas tokoh, artis atau parpol. Buzzer juga digunakan untuk memenangkan polling pilpres, seperti yang terjadi di tahun 2019.
Cara Buzzer Bekerja
Rinaldi juga mengungkap untuk mudah mencapai trending topik, para buzzer biasa menggunakan akun bot secara massif. Mereka menggunakan semacam mesin otomastis dan algoritma media sosial untuk menghasilkan ‘kicauan’ berfrekuensi tinggi. .
Para buzzer juga bisa menyebarkan pesan dengan menempatkan dua atau lebih akun untuk terlibat dalam sebuah obrolan. Akun yang dibuat memainkan peran sebagai pihak pro dan kontra terhadap topik percakapan.
Strategi ini bisa mengelabui warganet dan memancing mereka untuk terlibat dalam perdebatan tanpa rasa curiga. Alhasil, opini yang dibangun oleh buzzer semakin meluas.
Rinaldi juga mengungkapkan, dalam mempromosikan ‘tuannya’ buzzer seringkali melakukan bias, disinformasi dan black campaign. Cara-cara kotor dilakukan untuk menyerang siapa saja yang dianggap lawan politik.
Kegaduhan di dunia maya yang dibarengi dengan perang tagar dan disinformasi menyebabkan kaburnya batas antara aspirasi publik yang sesungguhnya dengan aspirasi rekaan.
“Akibatnya, aspirasi dan kritik publik tidak tersampaikan dengan baik kepada pemerintah dan sensitivitas pemerintah terhadap kritik dan masukan publik memudar,” ungkap Rinaldi.
Ulah Buzzer
PAda Oktober 2019 lalu, RUU KPK dinilai sebagai atas lembaga yang menjadi ujung tombak penanganan korupsi. Gelombang unjukras terjadi diberbagai kota.
Dilain sisi, pihak yang pro dengan RUU KPK memanfaatkan jaza para buzzer untuk melakukan penggiringan opini yang berlawanan. Bahkan menurut analis media sosial, Ismail Fahmi para buzzer memberikan iming-iming giveaway untuk memasifkan narasi yang dibangun.
“Jadi berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan, ada akun-akun buzzer yang muncul untuk membuat opini publik pro-revisi UU KPK. Buzzer itu ada di Twitter dengan akun @menuwarteg lewat model giveaway,” tutur Ismail (18/9/2020).
Penelusuran oleh tim Kompas.com pada 17 Oktober 2019 lalu terhadap akun @menuwarteg berhasil mengungkap, bahwa giveaway yang diberikan berupa pulsa dan saldo OVO, Gopay. Nominalnya sebesar Rp 50.000. Para pengguna sosial media diminta me-retweet sebanyak-banyaknya dengan menggunakan tagar #KPKPatuhAturan. Aksi tersebut dimulai dari pukul 16.00-19.00WIB.
Buzzer bahkan melakukan serangan membabi-buta. Beberapa waktu lalu, Komika Bintang Emon menjadi korban serangan buzzer. Ia difitnah sebagai pecandu narkoba setelah mengunggah konten video yang mengkritik sidang tuntutan pada kasus Novel Baswedan.
.Namun dalam kasus Bintang Emon gerakan buzzer dapat dengan mudah dibaca warganet. Sebaliknya, warganet justru memberikan dukungan moril pada bintang Emon.
Tapi berdasarkan riset CIPG tahun 2017. tidak semua buzzer merupakan orang bayaran. Adapula buzzer gratisan. CIPG dalam risetnya menemukan ada dua motif yang menggerakkan seseorang atau akun untuk melakukan aktivitas buzzing.
“yaitu komersial ditandai dengan imbalan atas jasa dan sukarela karena ideologi atau rasa puas terhadap suatu produk atau jasa,” kata Klara peneliti CIPG
Bahaya Buzzer
Mantan Menko Maritim, Rizal Ramli mengatakan keberadaan para buzzer bisa menyebabkan munculnya narasi yang tidak beretika. Bahkan buzzer seringkali melakukan aksi body shaming kepada orang-orang yang dianggap kritis.
Dikutip dari jpnn.com (5/6/2020) Rizal mengatakan, meskipun secara jumlah mereka tidak banyak tapi keberadaan mereka sangat membahayakan. Sebab para buzzer politik mampu memanipulasi keadaan dengan menghadirkan sebuah ilusi. Memproduksi kebohongan secara terus-menerus, memecah belah bangsa dan merusak pondasi demokrasi.
“Mereka tidak banyak, tetapi ulah mereka sangat berbahaya. Jika buzzer politik yang dipelihara penguasa atau pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari kekuasaan adalah bubble atau gelembung. Terlihat banyak, tetapi sebenarnya keropos,” kata Rizal
Penulis: Kukuh Subekti