IslamToday ID – Kass korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali dengan tersangka utama Djoko Soegiarto Tjandra (JST) terus menunjukan fakta mengejutkan. Para penegak hukum Jendral polisi, jaksa hingga pengacara terseret dalam kasus tersebut.
Pada Jum’at 14 Agustus 2020 Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menetapkan tersangka lagi bersisial TS yang hingga kini belum diungkapkan latar belakangnya. Namun, polisi mengungkapkan bahwa TS selaku pemberi suap dalam kasus Djoko Tjandra. Selain TS, polisi juga menetapkan Kadiv Hubungan Internasional Irjen Pol Napoleon Bonaparte (NB) sebagai tersangka. Ia merupakan penerima suap dari TS.
Penetapan Napoleon sebagai tersangka menambah daftar penegak hukum yang terlibat dalam kasus trersebut. Antara lain, Brigjen Prasetijo Utomo, Jaksa Pinangki, dan pengacara Djoko Tjandra yakni Anita Kolopaking. Polisi membagi kasus ini menjadi dua kasus pidana, yakni pidana umum (surat jalan palsu) dan tindak pidana korupsi, gratifikasi atau suap.
Irjen Pol Napoleon Bonaparte diduga turut menerima suap dalam penghapusan terpidana Djoko Tjandra dari daftar red notice . Irjen Pol Napoleon dan Brigjen Prasetijo Utomo, , dijerat pasal 5 ayat 2, lalu pasal 11 dan 12 huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Tipikor dan pasal 55 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Sedangkan Jaksa Pinangki, diduga menerima hadiah atau janji hadiah dari Djoko Tjandra dalam kasus pengurusan fatwa Djoko ke MA 2019 silam. Dalam hal ini, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setyono mengatakan Pinangki diduga menerima suap Rp7 miliar dari Djoko Tjandra.
Sementara Djoko Tjandra dan pengacaranya Anita Kolopaking serta Brigjen Prasetijo Utomo dijerat dengan tidnak pidana pidana umum, yakni pembuatan dan penggunaan surat jalan palsu,.
Keterlibatan para penegak hukum dalam kasus Djoko Tjandra terungkap setelah Djoko Tjandra berhasil dibekuk dan tiba di Indonesia, Kamis (30/7) lalu. Ia yang sempat menjadi buronan kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali selama 11 tahun pencarian.
Direktur PT Era Giat Prima (EGP). Pada 1999 ia terjerat kasus korupsi atas pengalihan tagihan piutang Bank Bali dan Bank Umum Nasional sebesar Rp 789 miliar. Dari pengalihan piutang ini, Djoko memperoleh keuntungan sebesar Rp546,1 miliar.
Usut Tuntas
Indonesia Corruption Watch ( ICW) menilai kasus Tjoko Tjandra belum tuntas. Menurut ICW masih ada beberapa hal yang harus diusut oleh kepolisian maupun kejaksaan, menurut ICW kasus tersebut harus dibagi dalam tiga klater waktu.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, menjelaskan, klaster pertama terjadi pada rentang waktu 2008-2009. Dalam rentang waktu ini, menurutnya penegak hukum perlu mendalami adanya dugaan oknum yang membocorkan putusan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus Djoko Tjandra pada tahun 2009 lalu. Sebab, kuat dugaan Djoko Tjandra melarikan diri ke luar negeri sebelum putusan dibacakan. Diduga Tjoko Tjandra mendapat bocoran.
“Jika ditemukan, maka penegak hukum dapat mengenakan pelaku dengan sangkaan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice atau menghalang-halangi proses hukum,” kata Kurnia, Sabtu (15/8/2020) dikutip dari kompas.com
Klaster kedua, yakni retang waktu akhir 2019. Rentang waktu ini berkaitan dengan dugaan suap yang diterima jaksa Pinangki Sirna Malasari. Meskipun ia telah ditetapkan sebagai tersangka, menurut Kurnia bebrapa hal yang harus segera diusut oleh Kejaksaan. Yakni, mencari pemberi suap, penggunaan dana suap dan keterlibatan petinggi kejaksaan. Selain itu terkait kemungkinan akses jaksa Piangki ke Mahkamah Agung dalam pemberian bantuan fatwa pada Djoko Tjandra.
“Pertama, siapa pemberi suapnya? Sebab tidak mungkin dalam sebuah perbuatan koruptif hanya dilakukan oleh satu orang. Apakah dana yang diterima oleh Pinangki dinikmati secara pribadi atau ada oknum petinggi Kejaksaan yang juga turut menerima bagian?” tutur Kurnia
Klater terakhir, adalah terkait penghapusan red notice dan terbitnya surat jalan palsu bagi Djoko Tjandra. Menurut Kurnia, kepolisian harus terus mengusut ersoalan ini. Terutama terkait kemungkinan keterlibatatan oknum perwira tinggi Polri yang memuluskan pelarian Djoko Tjandra. Selain itu polisi juga harus petinggi Imigrasi yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra.
“Sebab, data red notice Djoko Tjandra di Imigrasi diketahui sempat dihapus,” ujar Kurinia
Ia menambahkan, Dirjen Imigrasi, Jhony Ginting, sebelumnya adalah seorang Jaksa. Menurutnya, Jhony Ginting tentu mengetahui jika Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan yang belum tertangkap. ” Kurnia juga meminta KPK aktif melakukan fungsi koordinasi dan supervisi atas penyidikan perkara korupsi, baik yang dilakukan oleh oknum Kepolisian maupun Kejaksaan.(AS)