IslamToday ID –Setiap tahunnya kerusakan hutan di Indonesia akibat penggundulan mencapai 1 juta hektar. Bahkan di tahun 2018 Indonesia sempat menduduki peringkat ketiga dari sepuluh negara didunia dalam kasus penggundulan hutan hujan tropis.
Kerusakan hutan ini tidak lepas dari tangan-tangan para politikus. Kolaborasi mereka dengan militer dan pengusaha melanggenggkan ‘menjarah’ kekayaan hutan Indonesia.
Andita Aulia Pratama Peneliti Sebijak Institute menuturkan, setidaknya ada tiga pola yang dilakukan para politikus dalam menguasai kekayaan hutan Indonesia. Pertama, politikus merumuskan kebijakan pro investasi yang menyebabkan terjadinya deforestasi hutan.
“Keran eksploitasi hutan mulai dibuka ketika pemerintah menerbitkan Undang-undang (UU) Pokok Kehutanan No.5/1967,” kata Andita dikutip dari theconversation.com (25/8/2020)
Beragam alasan pun diambil demi kebijakan yang dianggap mendukung investasi. Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana sektor kehutanan menjadi primadona untuk mendatangkan devisa bagi negara.
Presiden Suharto saat itu menjadikan UU No.5/1967 sebagai dasar hukum dalam melakukan pemberian konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di Indonesia. Sejak saat itu pemodal asing dan dalam negeri untuk berinvestasi di sektor kehutanan serta melakukan ekspor produk kayu.
Imbas dari ditetapkannya UU tersebut, ekspor kayu bulat di Indonesia mengalami peningkatan drastis pada tahun 1973-1974. Dari yang semula hanya 5,2 juta meter kubik naik menjadi 24,3 juta meter kubik. Tentu devisa negara mengalami peningkatan yang signifikan yakni menjadi US$564 juta di tahun 1974 jika dibandingkan pada periode 1966 yang nilainya hanya mencapai US$6 juta.
Kebijakan di bidang perkayuan seiring waktu mengalami perkembangan. Sejak tahun 1980 pemerintah Indonesia mulai mewajibkan para investor asing dan dalam negeri untuk membangun industri kayu lapis (plywood) dan gergajian kayu (sawnwood). Selain itu, pemerintah juga melarang ekspor kayu bulat. Sejumlah konglomerat pun diuntungkan dengan kebijakan ini, sementara pengusaha asing mulai angkat kaki dari Indonesia dan para pengusaha kecil memilih mundur dari kepemilikan konsesi hutan di Indonesia.
“Alhasil, separuh kawasan hutan produksi di Indonesia dikuasai hanya oleh 15 konglomerasi perusahaan hutan,” jelas Andita.
Penguasaan Lahan oleh Pejabat Militer
Mengutip pendapat dari San Afri Awang, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM sekaligus mantan Dirjen Planologi dan Tata Ruang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Andita menjelaskan bahwa keuntungan dari investasi di sektor kehutanan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Mereka adalah elite penguasa, pengusaha, dan militer. Tidak hanya itu mereka juga akhirnya melakukan persekongkolan dengan pihak penguasa untuk melanggengkan izin dan usaha bisnis mereka.
Ia menambahkan, relasi erat antara militer dan birokrat dengan para konglomerat tampak dari kepelimikan saham perusahaan tersebut. Dimana oknum pejabat militer mendapatkan saham kepemilikan perusahaan sebesar 20-25% sebagai jaminan perlindungan politik bagi keberlangsungan bisnis para konglomerat tersebut.
Di era Jokowi, wajah militer yang juga terlihat dalam beberapa konsesi lahan dan hutan. Sebut saja Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Ia memiliki sejumlah lahan baikitu di Sumatera maupun di Kalimantan. Misalnya di Aceh ada PT Tusam Hutani Lestari (97.300 hektar), PT Tanjung Redeb Hutani di Kalimatan Timur seluas 180.030 hektar dan masih ada lagi.
Selain Prabowo, ada juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritam Luhut Binsar Panjaitan. Ia menguasai berbagai bisnis di sektor kehutanan mulai dari pertambangan, energi, migas, perindustrian, kehutanan dan kelapa sawit. Perusahaan Luhut terdapat di wilayah Kalimantan Timur.
Bahkan Luhut pun diduga memiliki hubungan dekat dengan sosok bupati Kutai kertanegara Rita Widyasari, sebab dia hadir dalam pelantikan Rita. Pasca pelantikannya di tahun 2010, Rita memberikan izin salah satu perusahaan pertambangan milik Luhut yakni PT Trisensa Mineral Utama. Pada tahun 2017, Rita menjadi salah satu pejabat yang ditangkap dalam OTT KPK.
Kasus Suap
Selain dikeluarkannya kebijakan yang pro investasi, hal yang tak bisa dipisahkan dari aktivitas pemeberian hak konsesi pengelolaan hutan juga kerap diwarnai aksi suap. Tidak tanggung-tanggung aksi suap kerap dilakukan sebagai transaksi pembuka dari pelaksanaan konsesi lahan oleh konglomerat. Oleh karenanya terdapat empat pola korupsi yang pertama untuk mendapatkan rekomendasi tukar-menukar kawasan hutan. Kedua untuk melakukan pengajuan revisi alih fungsi hutan menjadi bukan kawasan hutan.
“ (Ketiga) penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada areal yang diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). (Keempat) proses permohonan alih fungsi hutan lindung menjadi industri ekstraktif,” terang Andita.
Kasus korupsi di sektor konsesi lahan dan kehutanan menempati peringkat tertinggi di tahun selam delapan tahun lamanya terhitung sejak tahun 2010 hingga 2018. Hal ini diperoleh dari hasil studi yang dilakukan oleh UI pada tahun 2018. Dari hasil tersebut terungkap bahwa kasus korupsi yang terjadi di pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia penyebab utamanya ialah pemberian hak konsesi lahan dan hutan.
Menurut Edward Aspinall, profesor bidang politik dari Australian National University relasi yang kuat antar tiga elemen yang terdiri atas politisi, militer dan konglomerat disebut dengan istilah klientelisme.
“Secara garis besar, klientelisme adalah praktik pertukaran barang atau keuntungan (bisa berupa uang, barang, pekerjaan dan pelayanan publik) untuk dukungan politik (melalui voting donasi kampanye, dukungan kampanye dll),” ucap Andita.
Hal ini bisa dibuktikan dengan data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang mencatat sebelum Pilkada ada 93 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikeluarkan pada tahun 2009 di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Setelah Pilkada, angka ini naik menjadi 191. Hal ini pun ditemukan di beberapa daerah lain di Indonesia seperti Kabupaten Kutai Barat di Kalimantan Timur dan Kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat.
Penulis: Kukuh Subekti