IslamToday ID — Peneliti sekaligus Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library, London, Dr Annabel Teh Gallop menukung usaha penyelamatan Gampong Pande, Banda Aceh. Menurutnya, Gampong Pande merupakan kawasan yang kaya dengan peninggalan sejarah dan belum tereksplorasi dengan terperinci secara arkeologis.
Sebagai sejarahwan dan peneliti naskah seluruh Nusantara, Annabel menilai Aceh menduduki posisi istimewa dari segi taraf sejarah dan kebudayaan di Asia Tenggara. Bahkan semua bidang penelitian yang ia geluti seolah-olah semua jalan menjurus ke Aceh.
Ia menuturkan, dari penelitian yang telah ia lakukan cap atau stempel Melayu tertua di Indonesia, ialah cap Sultan Alauddin Riayat Syah Aceh yang dibuat sekitar tahun 1600. Kemudian Surat emas paling besar, paling bagus, dan paling tua di seluruh Indonesia ialah surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris tahun 1615. Selain itu, menurutnya naskah mushaf al-Qur’an berhias yang paling banyak di Nusantara terdapat di Aceh.
Menurut Annabel, salah satu bidang kesenian paling istimewa di Aceh ialah batu nisan. Bahkan menurutnya batu nisan Aceh terkenal sebagai batu nisan Islam yang tertua, terbagus dan terbanyak di seluruh Asia Tenggara. Menurutnya dari bukti batu nisan dapat diketahui bahwa kesultanan Islam pertama di Asia Tenggara terletak di kawasan Aceh.
“Jelas, batu nisan Aceh juga mempunyai nilai sejarah yang tak terbayangkan, namun sampai sekarang hanya beberapa saja yang telah dikaji dan diterbitkan. Coba membayangkan, betapa banyak informasi sejarah yang penting yang sekarang masih ‘terkunci’ dalam ratusan batu nisan Aceh yang masih belum terdokumentasi dan dikaji secara mendalam,” ujarnya melaluu keterangan tertulis yang diterima IslamToday. ID, Senin (28/9/2020)
Menurutnya,, sangat penting untuk melestarikan situs-situs bersejarah di Aceh yang sarat dengan kuburan lama, sebagai khazanah bangsa. Oleh karena itu ia mendukung upaya untuk melindungi sejumlah situs dan kawasan gampong pande sebab memiliki nilai sejarah yang tak terhingga. Menurut Annabel, situs dan kawasan bersejarah seperti ini tidak hanya bermakna untuk sejarah Aceh, tetapi juga untuk sejarah Indonesia, sejarah dunia Islam, dan bahkan sejarah seluruh dunia.
“Saya sangat mendukung usaha teman-teman pencinta sejarah di Aceh untuk melindungi sejumlah situs yang mempunyai arti dan nilai sejarah yang tak terhingga. Salah satunya yang sangat penting ialah Gampong Pande yang kaya dengan peninggalan sejarah, yang belum tereksplorasi dengan terperinci secara arkeologis. Situs-situs bersejarah seperti ini tidak hanya bermakna untuk sejarah Aceh, tetapi juga untuk sejarah Indonesia, sejarah dunia Islam, dan bahkan sejarah seluruh dunia,” ujarnya
Annabel menanti bukti komitmen pemerintah dalam penyelamatan Gampong Pande. Ia mengungkapka, pekan lalui ia menonton tayangan video Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh tentang naskah. Dalam video itu ia mendengar bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang mengargai sejarahnya. Menurutnya, hal tersebut harus dibuktikan, salah satunya dengan penyelamatkan kawasan bersejarah Gampong Pande.
“Minggu lalu saya nonton video Disbudpar Aceh tentang naskah, yang mengatakan, ‘Bangsa yang besar ialah bangsa yang menghargai sejarahnya’. Bukti menghargai sejarah bangsa ialah penyelamatan Gampong Pande,” pungkasnya
Seperti dikutip dari Polrtalsatu.com 26 Agustus 2020, Dinas PUPR Kota Banda Aceh kembali berencana melanjutkan pembangunan IPAL di Gampong Pande Rencana ini mendapat penolakan dari Masyarakat Peduli Sejarah Aceh. Mapessa menilai banyak ilmu pengetahuan yang dapat digali dari gampong Pande. Menurut Mapessa pembangunan IPAL di Gampong Pande juga merupakan bentuk penghinaan, sebab kawasan tersebut banyak nisan dan artefak dari zaman kesultanan dan sangat penting bagi ilmu pengetahuan.
“Artefak batu nisan Aceh itu tidak boleh dipindahkan dari tempatnya. Kita perlu mereka tetap di posisi aslinya. Melalui nisan walaupun sudah terbenam dan masih dalam posisi asli, banyak ilmu pengetahuan yang dapat digali, itu menceritakan banyak hal, geomorfologi, berapa lama Gampong Pande terendam. Pemindahan benda cagar budaya jelas sudah melanggar undang-undang. Seharusnya, semua benda artefak seperti batu nisan zaman kesultanan, dikaji lebih mendalam untuk ilmu pengetahuan,” kata Taqiyuddin Muhammad, Peneliti Kebudayaan Islam Asia Tenggara dan Ahli Epigraf Mapessa, seperti dikutip dari Polrtalsatu.com 26 Agustus 2020. (AS)