(IslamToday ID) – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai pasal 216 KUHP tentang melawan petugas yang dikenakan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) tidak berdasar dan tidak memenuhi unsur.
Seperti diketahui, Polda Metro Jaya telah menetapkan HRS menjadi tersangka dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta. Pasal yang disangkakan yakni pasal 216 KUHP tentang melawan petugas, pasal 160 tentang penghasutan, dan pasal 93 UU No 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Menurut Fickar, HRS tidak menghalang-halangi petugas yang dalam menjalankan tugasnya. Menurutnya, ketika HRS tidak hadir dalam panggilan sebanyak dua kali, seharusnya dilakukan panggilan ketiga yakni panggilan paksa.
“Pasal 216 KUHP itu kan melawan petugas, dalam konteks petugas sedang melakukan tugas dihalang-halangi. Kalau dalam konteks HRS itu dipanggil dua kali tidak datang, seharusnya berdasar KUHP panggilan tiga kali dipaksa datang, bukan menerapkan pasal 216 KUHP, tidak berkonteks dan tidak memenuhi unsur,” katanya seperti dikutip dari Sindo News, Ahad (13/12/2020).
HRS dan kelima orang lainnya dijadikan tersangka terkait kerumunan orang di Petamburan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Adapun pasal 160 menyebutkan: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Sementara, pasal 216 KUHP menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000”. [wip]