(IslamToday ID) – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai pembubaran yang disertai larangan kegiatan ormas Front Pembela Islam (FPI) kental muatan politis. Ia pun menyinggung UUD 1945 Pasal 28e Ayat (3) juncto putusan MK No 82/2013.
Pasal 28e Ayat (3) UUD 1945 ini menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Adapun putusan MK No 82 Tahun 2013 menyatakan bahwa Pasal 16 Ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.
“Ini semua produk politik kok. Putusan MK tidak dipakai, atau dipakai tapi dimiringkan. Putusannya jelas mengatakan tidak mewajibkan SKT (Surat Keterangan Terdaftar), yang mewajibkan (maka) bertentangan dengan UUD. Artinya ormas tidak wajib punya SKT, tapi dikatakan ada pelanggaran hukum (bila tidak punya SKT),” kata Asfin dalam acara Kompas TV bertema “Setelah FPI Dilarang”, Kamis (7/1/2021) seperti dikutip dari RMOL.
Menyinggung soal tuduhan pelanggaran oleh FPI, menurutnya, hal itu harus dibuktikan secara hukum. Jika tidak, maka setiap adanya pelanggaran lain bisa dilakukan tanpa adanya hukuman di pengadilan.
“Kalau gitu saya bisa dong mendalilkan korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan menyuap terus-menerus, maka tidak perlu lagi ada putusan pengadilan untuk membuat korporasi dibubarkan. Cukup dengan aturan sebelumnya. Kalau seperti itu kan tidak adil,” ucapnya.
Dalam kasus FPI ini, Asfin melihat bahwa hal tersebut merupakan tindak kejahatan individu, bukanlah kejahatan organisasi.
“Apalagi ada pertanyaan pada sidang-sidang. Dia melakukan tindak pidana karena disuruh organisasi atau tidak? Saya yakin tidak ada. Karena saya pernah juga memantau sidang FPI, yang diperdebatkan hanya orang tersebut (bukan secara organisasi FPI),” tandasnya.
Asfin juga menilai pembubaran FPI tanpa jalur peradilan akan berbahaya bagi sistem demokrasi Indonesia. Hal ini akan memicu pemerintah kembali melakukan hal serupa tanpa menghormati konstitusi.
“Dengan tidak menggunakan pos pengadilan, maka semua hal bisa dibuat pemerintah. Bukan hanya kasus ini (FPI), tapi menjadi preseden untuk kasus-kasus sesudahnya,” ujarnya.
Jika pemerintah menggunakan ukuran pengadilan, katanya, maka tidak akan ada langkah pembubaran FPI. Orang yang melakukan kejahatan pun tidak bisa diproses hukum tanpa adanya peradilan, apalagi sebuah ormas.
“Dalam semua aturan hukum internasional, membubarkan organisasi itu tidak serta merta dilihat dari anggotanya melakukan tindak pidana, itu ada derajat yang lebih tinggi lagi,” katanya.
Ia menegaskan, pemerintah harusnya memiliki rasa keadilan kepada siapa pun. Organisasi tidak hanya diatur dengan hukum, tapi juga asas keadilan. “Kehidupan bersama ini akan bisa betul kalau kita proses pengadilan, jadi ukuran-ukuran yang akurat,” tegasnya. [wip]