ISLAMTODAY ID — Kehidupan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tak pernah lepas dari jerat hukum. Sejak era orde baru penjara‘seolah menjadi bagian dalam pilihan hidup sebagai seorang aktifis muslim.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (ABB) berulangkali dipenjarakan tanpa menjalani pengadilan terlebih dahulu, dari 1978 sampai 1982, semasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Pada tahun 1983, ia ditangkap bersama dengan Ustadz Abdullah Sungkar. Ia dituduh menghasut orang menolak asas tunggal Pancasila dan melarang santrinya hormat bendera karena menurutnya itu perbuatan syirik.
Dia juga dituduh bagian dari gerakan Hispran (Haji Ismail Pranoto), salah seorang tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia Jawa Tengah. Di pengadilan, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Ustadz Abdullah Sungkar divonis 9 tahun penjara.
Usai bebas, dia kembali dituduh terlibat pemboman Candi Borobudur pada 1985. Namun, ia mencari suaka politik di Malaysia.
ABB terus mengenalkan pemikiran dakwahnya di Malaysia dan Singapura. Dia bolak balik di dua negara itu, sampai kemudian Rezim Soeharto jatuh pada tahun 1998.
Selang setahun usai rezim Soeharto jatuh, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kembali ke Indonesia dan aktif kembali berdakwah.
Beliau langsung terlibat dalam pengorganisasian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari organisasi Islam yang bertekad menegakkan Syariah Islam di Indonesia.
Pada 10 Januari 2002, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, Muljadji menyatakan pengadilan segera mengeksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap pemimpin tertinggi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir.
25 Januari 2002, Abu Bakar Ba’asyir memenuhi panggilan untuk mengklarifikasi statusnya ke Mabes Polri. “Pemanggilan itu merupakan klarifikasi dan pengayoman terhadap warga negara,” tegas pengacara Abu Bakar Ba’asyir, Achmad Michdan, pada waktu itu.
19 April 2002, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menolak eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA), untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun atas dirinya, dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai azas tunggal. ABB menilai, Amerika Serikat berada di balik eksekusi putusan yang sudah kadaluwarsa itu.
April 2002, Pemerintah mempertimbangkan memberikan amnesti kepada tokoh Majelis Mujahidin Indonesia Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, yang tahun 1985 dihukum selama sembilan tahun oleh Mahkamah Agung (MA) karena dinilai melakukan tindak pidana subversi menolak asas tunggal Pancasila.
Dari pengecekan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra, ternyata Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memang belum termasuk tahanan politik/narapidana politik yang memperoleh amnesti dan abolisi baik dalam masa pemerintahan Presiden Habibie maupun massa Abdurrahman Wahid.
8 Mei 2002, Kejaksaan Agung akhirnya memutuskan tidak akan melaksanakan eksekusi putusan Mahkamah Agung itu. Alasannya, dasar eksekusi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11/ PNPS/1963 mengenai tindak pidana subversi sudah dicabut dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Kejagung menyarankan Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa Tengah) untuk memintakan amnesti bagi Ba’asyir kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.
8 Agustus 2002, Organisasi Majelis Mujahidin Indonesia mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk pimpinan Mujahidin di mana Ustad Abu Bakar Ba’asyir terpilih sebagai ketua Mujahidin sementara.
19 September 2002, Beliau terbang ke Medan dan Banjarmasin untuk berceramah. Dari sana, ia kembali mengajar di Ponpes Al-Mukmin Ngruki.
1 Oktober 2002, Abu Bakar Ba’asyir mengadukan Majalah TIME karena berita yang ditulis majalah itu pada 23 September 2002 dianggapnya “trial by the press” dan mencemarkan nama baiknya. Ia membantah semua tudingan yang diberitakan media AS itu bahwa ia mengenal teroris Umar Al-Farouq.
11 Oktober 2002, dia meminta pemerintah membawa Omar Al-Faruq ke Indonesia menyusul pengakuannya yang mengatakan mengenal dirinya. Pihaknya mengatakan, sudah sepantasnya Al-Farouq dibawa dan diperiksa di Indonesia.
17 Oktober 2002, Markas Besar Polri melayangkan surat panggilan kepadanya sebagai tersangka, namun ia tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya oleh TIME.
18 Oktober 2002, ABB ditetapkan tersangka oleh Polri menyusul pengakuan Omar Al Faruq kepada Mabes Polri di Afganistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali.
3 Maret 2005, ABB dinyatakan bersalah atas konspirasi serangan bom 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003. Dia divonis 2,6 tahun penjara. Tapi pada 17 Agustus 2005, masa tahanan Ba’asyir dikurangi 4 bulan dan 15 hari. Dan dibebaskan pada 14 Juni 2006.
Sebelumnya, Ustadz Abu Bakar Baasyir telah menjalani hukuman selama lebih dari 10 tahun, dari total vonis selama 15 tahun yang dikurangi remisi 55 bulan.
Agustus 2010, Ia kembali ditahan karena ditengarai terlibat dalam pelatihan militer kelompok bersenjata di Aceh.
16 Juni 2011, Ia divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena melanggar Pasal 15 jo 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
2015, Ia sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 2015 silam.
2016, Mahkamah Agung menolak Peninjauan Kembali (PK) pada pertengahan 2016. Ia kemudian dipindah ke Lapas Gunung Sindur dari yang semula ditahan di Lapas Pasir Putih Nusakambangan.
Januari 2019, pemerintah berencana membebaskan ABB dengan alasan kemanusiaan, dan menuai pro dan kontra. Di waktu yang bersamaan, ia juga mulai menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat
Presiden Jokowi mengutus kuasa hukumnya saat itu Yusril Ihza Mahendra untuk berkomunikasi dengan ABB. Yusril menuturkan, pembebasan ABB dilakukan tanpa syarat.
Di sela kunjungan kerja di Kabupaten Garut, Jokowi mengatakan mengatakan pembebasan ABB karena alasan kemanusiaan.
“Memang alasan kemanusiaan. Artinya beliau kan sudah sepuh, ya pertimbangannya kemanusiaan,” jelas Jokowi.
Namun akhirnya, Jokowi meluruskan pernyataan itu menjadi pembebasan bersyarat. Artinya, ada syarat yang harus dipenuhi. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012, narapidana terorisme untuk mendapat bebas bersyarat harus menandatangani pernyataan mengakui dirinya bersalah dan setia kepada NKRI. Surat tersebut yang sejak semula hingga kini tidak ingin ditandatangani oleh beliau.
Akan tetapi, kala itu ABB batal bebas lantaran menolak memenuhi syarat untuk berikrar kepada Pancasila. Ia menolak menandatangani dokumen ikrar setia pada Pancasila karena di dalamnya juga berisi poin pengakuan bersalah atas tindak pidana terorisme yang menjeratnya.
Sementara Kuasa hukumnya, Achmad Michdan, kala itu menyebut ABB enggan mendatangani dokumen tersebut, karena kliennya tersebut mengaku tidak pernah melakukan pidana terorisme, yakni perencanaan dan pendanaan latihan militer di Janto, Aceh.
8 Januari 2021, Ia dinyatakan bebas murni setelah menjalani masa tahanan selama 15 tahun pukul 05.21 WIB dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Khusus Kelas IIA, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jumat (8/1/2021). Abu Bakar Ba’asyir dinyatakan bebas murni.[IZ/AS]
Sumber: Antara, Sindo, CNN