(IslamToday ID) – Menyaksikan sepak terjang para politikus, seringkali membuat publik bertanya-tanya, apa dan bagaimana para politikus bermain.
Hendrajit menulis jejak karier SBY-Moel dalam kajiannya tentang SBY-Moel, yang disebutnya entah by design atau by accident?
Berikut ini kami sampaikan apa yang telah ditulis oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute dan wartawan senior.
Ada Apa SBY-Moel?
Secara jurnalistik, fokus yang disorot oleh media harusnya hubungan antara SBY dan Moeldoko dari masa ke masa. Khususnya ketika keduanya sama-sama bertugas di Kodam Jaya. Sehingga melalui konstruksi fakta-fakta masa silam keduanya, kita punya ruang untuk analisis maupun imajinasi, mengapa peristiwa yang begitu transparan dan vulgar itu sampai terjadi.
Ketika orang Jepang bilang jangan percaya pada sesuatu yang tampak terlalu jelas, terlalu fokus menyorot istana (baca: Jokowi) versus SBY, meskipun itu terang benderang sebagai pemantik pengambilan paksa atau hostile take over seperti istilah yang dipakai dalam perebutan kepemilikan saham perusahaan.
Namun kita tak akan dapat keterangan apa-apa baik secara faktual maupun secara imajinasi dalam menyingkap motivasi sesungguhnya di balik peristiwa yang orang Jawa bilang ceto welo-welo itu.
Mari kita telisik Moeldoko. Pada 1995, Komandan Yonif 201/Jaya Yudha. Pada 1996, Komandan Kodim 0501 Jakarta Pusat . Pada 1999, Komandan Brigif-1/Jaya Sakti Brigif-1/Jaya Sakti.
SBY, antara 1994-1995, Asisten Operasi Kodam Jaya, semasa Pangdam Jaya dipegang Hendropriyono. Kalau ditilik dari kewenangan yang melekat pada jabatannya, Asisten Operasi merupakan posisi yang cukup strategis. Karena berwenang menyusun rencana strategis dan skenario building, kelak ini merupakan bakat utama SBY di kemiliteran.
Pada 1995 jeda sejenak jadi Komandan Korem Yogyakarta, dan sekolah di Amerika Serikat (AS), namun pada 1996 kembali ke Kodam Jaya. Kali ini sebagai Kepala Staf Kodam Jaya di bawah Pangdam Sutiyoso.
Pada momen SBY jadi Kasdam Jaya itulah, muncul peristiwa 27 Juli 1996 yang notabene rada mirip dengan kejadian KLB Demokrat di Medan pekan lalu. Sementara, Moel pada 1996, Komandan Kodim 0501 Jakarta Pusat.
Menelisik jejak karier SBY, tampak jelas Kodam Jaya merupakan kampung halamannya yang kedua setelah Kostrad, tempat SBY memulai meniti karier militernya.
Maka setelah SBY bertugas sebagai Panglima Sriwijaya Palembang, Moeldoko pun beralih tugas sebagai Sekri Wakasad dan pos jabatan lainnya, namun 1999 kembali mudik ke Kodam Jaya, dan jadi Komandan Brigif-1/Jaya Sakti Brigif-1/Jaya Sakti.
Menarikya lagi, saat SBY menjabat presiden, pada 2008 Moeldoko mengulang jejak jabatan strategis SBY di Kodam Jaya, jadi Kasdam Jaya. Pada 2010, pada periode kepresidenan SBY yang kedua, Panglima Divisi Infanteri 1/Kostrad TNI AD.
Lagi-lagi Moeldoko menapak tilas kesatuan yang jadi titik awal SBY meniti karier. Selain Kodam Jaya, Kostrad memang boleh dibilang ibarat daerah rintisan SBY mbabat alas karier militernya.
Dan Topan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976)
Dan Topan Yonif 305 Kostrad (1976-1977)
Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977)
Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978)
Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981).
Moeldoko sendiri kemudian sempat jadi Panglima Divisi Infanteri 1/Kostrad TNI AD pada 2010. Meskipun jabatan-jabatan strategis Moeldoko semasa SBY jadi presiden berada dalam kewenangan dan rantai komandan atasannya langsung, namun pastilah sepengetahuan dan restu dari SBY.
Kalau menelisik catatan karier militer keduanya yang sama-sama mendarah daging di Kostrad dan Kodam Jaya, SBY dan Moel tidak mungkin hanya sebatas hubungan atasan dan bawahan, melainkan seperti bapak-anak buah alias Patron-Client. Sudah gitu keduanya sama-sama Jawa Timuran.
SBY asli Pacitan, Moel asli Kediri. Bukan berarti sukuisme, tapi teman sedaerah biasanya punya cita rasa atau taste yang sama. Dan chemistry psikologis yang nyambung.
Dan dalam dua peristiwa politik penting berskala nasional dan bersejarah, penyerbuan kantor PDIP Megawati di Diponegoro, maupun saat peralihan kekuasaan dari era Pak Harto ke era Reformasi pada 1999, baik SBY maupun Moel di rentang komando kemiliteran yang sejalur.
SBY sebagai Kepala Staf Teritorial TNI, adapun Moel Komandan Kodim Jakarta Pusat. Daerah jantung kekuasaan politik negara tempat mana istana berlokasi.
Catatan singkat ini cukup diakhiri dengan satu pertanyaan singkat. Ada apa SBY-Moel, sehingga hubungan yang begitu solid di masa lalu buyar begitu saja oleh sesuatu hal yang bersifat taktis seperti perebutan kursi kekuasaan partai?
Benarkah Moel membuat kesalahan strategis yang begitu serius, atau diperintahkan untuk membuat kesalahan?
Keduanya yang sama sama pernah meniti karier sebagai perwira tempur, staf dan sospol, pastilah menghayati betul ungkapan berikut ini:
“Sekali saja pemikiran strategi jadi kaku dan sombong, maka hasil gemilang di level taktis sekalipun, bakal jadi bencana di bidang politik.”
Dengan kata lain, strategi yang salah akan menghancurkan tujuan politik. Padahal tujuan perang yang sesungguhnya adalah mencapai tujuan politik. Dalam hal ini, SBY maupun Moel rasa-rasanya nggak masuk akal kalau tidak paham ini.
Kembali pertanyaan awal di laptop tadi. Benar-benar membuat blunder dan kesalahan, atau memang mempertunjukkan kesalahan sebagai bagian dari alur cerita? Demikian Hendrajit menulis.
Kesimpulan sederhana catatan ini, bila perseteruan ini arahnya ke Pemilu 2024 untuk membentuk koalisi tunggal (bukan partai tunggal) guna mendorong kinerja “sesuatu” baik secara yuridis dan politis.
Maka kita lihat ke depan, pasca Demokrat, adakah partai lain yang perlu diakuisisi? (IS/Hend)