ISLAMTODAY ID — Pakar Hukum Pidana, Dr Muhammad Taufiq turut menanggapi kasus yang dialami Seorang warga Slawi, Tegal berinisial AM yang ditangkap Tim Virtual Police Polresta Surakarta. Penangkapannya dikarenakan ia menulis komentar di media sosial Instagram.
Komentar AM dinilai menghina Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang baru saja dilantik pada 26 Februari 2021. Melalui akun Instagram pribadinya, Sabtu (13/3) AM menulis komentar ‘Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja’ pada unggahan akun @garudarevolution terkait permintaan Gibran agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.
Menurut Taufiq penangkapan AM merupakan kesalahan, lantaran tidak sesuai dengan praktik hukum acara. Ia menjelaskan dalam sebuah praktik hukum acara, itu mengenal yang disebut locus delicti dan tempus delicti. Dimana locus delicti merupakan kejahatan menyangkut tempat, wilayah. Sedangkan tempus delicti adalah waktu kejadian pidana tersebut terjadi atau berlangsung.
“kalau lihat locusnya itu ada di mana, Tegal ya tidak bisa, polisi kan punya yurisdiksi. Oleh karena itu kenapa ada jabatan Kapolresta – Kapolres. Kapolres berarti Kabupaten, Resta itu berarti Kepolisian Resor kota (Polresta) itu kan sudah menunjukkan yurisdiksinya. jadi saya tidak mengerti itu kebablasan menurut saya mengambil orang yang berada di wilayah hukumnya itu”Katanya, Selasa ( 16/3).
Setelah ditangkap AM diminta untuk menghapus komentarnya dan menyatakan permintaan maaf secara terbuka melalui akun resmi Instagram Polresta Surakarta @PolrestaSurakarta. Dalam video yang diunggah akun tersebut, AM meminta maaf dan menyatakan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Pernyataan Kapolresta Solo
Dalam penangkapan AM, Kapolresta Solo Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak menjelaskan bahwa kerja mereka terukur dan enggak asal ‘nyiduk’. Sebab, sebelum AM dinyatakan bersalah, tim Virtual Police mereka sudah konsultasi ke ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE.
Ade mengaku AM ditangkap hanya untuk meminta klasifikasi. Menurutnya, AM mengakui komentar tersebut ditujukan kepada Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Polresta, lanjutnya meminta AM untuk menghapus komentarnya dan meminta maaf kepada Gibran dan warga Solo secara terbuka.
“Yang bersangkutan telah menghapus komentar tersebut dan meminta maaf. Maka pendekatan restorative justice kita kedepankan dalam penanganannya,” katanya.
‘Restorative Justice’, Tak Ada Pemidanaan
Taufiq kemudian membantah dan menilai kepolisian tidak memahami adanya surat edaran Kapolri Nomor 2/11/2021 tertanggal 25 Februari 2021.
“Yang dimaksudkan restorative Justice itu bukan orang ditangkap kemudian minta maaf. Restorative Justice itu tidak ada pemidanaan kalau orang ditangkap kemudian suruh minta maaf itu sudah dipidana namanya.”jelasnya.
Menurutnya, Virtual police seharusnya tidak menakuti masyarakat dan membuat masyarakat takut berekspresi kembali.
“Lagian sebagai ahli pidana kalau ditelisik kalimatnya itu dia mengomentari dapat jabatan dari ayahnya, nggak ada yang salah itu. Kecuali dia (AM) bilang bahwa dia (Gibran) dapat Jabatan itu karena nyogok karena menguasai KPU menguasai Bawaslu Nah itu baru mungkin ada unsur pidananya mungkin ya” jelasnya.
Pentingnya Sosialisasi
Menurutnya, Kepolisian seharusnya memberi informasi kepada masyarakat terlebih dahulu dan tidak langsung menangkap.
“mestinnya memberitahu, eh Jangan posting begitulah itu nggak bener, kamu nanti bisa diancam pidana undang-undang ite khususnya pasal 28 ayat 3 mestinya begitu kalimatnya. Bukan tiba-tiba ini ditangkap kemudian disuruh minta maaf direkam dan disebarkan, itu jadi masalah baru itu loh. restorative Justice itu bukan begitu.”
Jika melihat putusan Mahkamah Konstitusi pasal 134 tahun 2006, Mahkamah konstitusi telah menghapus pasal tersebut. Dan kata Taufiq, kebijakan tersebut seharusnya menjadi delik aduan yang mengharuskan korban (yang bersangkutan) membuat pengaduan dan tidak diwakilkan oleh siapapun.
“lagian maaf-maaf pejabat negara sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 pasal 134 penghinaan pejabat negara itu sudah dihapus. konsekuensi hukumnya apa kalau dihapus, Berarti menjadi delik aduan. delik aduan tuh nggak bisa polisi tentara atau siapapun wakilan negara nangkap gak bisa. harus yang bersangkutan membuat pengaduan, namanya pengaduan bukan laporan pidana.” tandasnya.
Reporter: Kanzun Dinan