(IslamToday ID) – Di tengah isu adanya kemungkinan impor daging ayam dari Brasil yang disampaikan pemerintah membuat peternak resah. Isu soal pasokan daging ayam bukan masalah, justru soal harga pakan yang berdampak pada harga.
“Kalau kekurangan nggak, produksi hulu kita sudah cukup, bahkan berlebih,” kata Sekjen Gabungan Asosiasi Pengusaha Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (23/4/21).
Selama ini Indonesia memang bukan langganan pengimpor daging ayam. Kebutuhan di dalam negeri masih bisa terpenuhi lewat produksi peternak lokal. Berbeda dengan komoditas daging lain seperti daging sapi yang setiap tahun menjadi langganan importir dari Australia.
“Kalau sapi impor karena barangnya nggak ada, kalau ayam disebut mau impor tapi barangnya ada. Kita punya kemampuan untuk produksi, ini juga perlu dicermati pemerintah, tapi problemnya kita itu mahal,” kata Sugeng.
Memperbaiki tata kelola produksi pakan menjadi suatu kebutuhan basic yang harus bisa dipenuhi oleh pemerintah. Persoalan mahalnya pakan ternak juga seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam memperbaiki sisi hulu ke hilir pola distribusi pakan.
“Yang jadi tantangan sarana produksi yang tinggi, 60-70 persen dari biaya pakan komposisinya di situ. Dari komposisi pakan sendiri 45-55 persen itu jagung dan produk-produk lain, sebagian produk itu tergantung impor,” jelas Sugeng.
Persoalan harga pakan dan DOC atau anakan ayam di dalam negeri mahal. Harga pakan mahal disebabkan harga bahan bakunya, yaitu jagung yang juga mahal.
“Kita tidak tahu apakah akan mengulur dari setahun atau setahun setengah. Tapi daging ayam murah akan masuk (impor). Kalau kita tidak mempersiapkan diri di dalam negeri, dengan DOC tinggi dan pakan tidak bersaing,” jelas Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Syailendra
“Kita harus meningkatkan efisiensi produktivitas kita untuk bisa bagaimana harga pakan dan DOC murah, sebelum yang dari luar menyerbu kita,” katanya.
Kelebihan Pasokan
Data Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa pada 2019 terdapat kelebihan pasokan daging sekitar 395.000 ton. Jumlah itu setara dengan 1,3 bulan konsumsi daging yang rata-ratanya 303.000 ton per bulan.
Tahun 2020 kondisinya tak banyak berubah. Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi, mengatakan saat ini jumlah produksi ayam dalam negeri mencapai 70 juta per pekan, sementara tingkat penyerapan hanya sebesar 50 juta, sehingga terdapat surplus 20 juta.
“Artinya kita harus bisa memperkirakan kalau misalnya kebutuhan ayamnya 50 juta ya produksi 50 juta, jangan kemudian malah jadi 70 juta. Yang 20 juta itu mau dikemanakan?” kata Sugeng seperti dikutip dari Lokadata.id.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) Alvino Antonio. Ia mengatakan kebutuhan hanya 55 juta DOC per pekan atau anak ayam berumur di bawah 10 hari yang digunakan sebagai bibit ternak ayam ras potong/pedaging.
“Tapi informasi yang kami dapatkan ada sekitar 83 juta DOC yang beredar per minggu. Jadi kebutuhan ayam hidup kita diperkirakan hanya 55 juta per minggu, sementara produksi serta jumlah kandang yang siap menampung bisa 83 juta. Ini kan oversupply,” kata Alvino.
Disamping itu, pandemi Covid-19 berdampak terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Alvino mengatakan selama beberapa bulan terakhir permintaan menurun menjadi tidak lebih dari 40 juta. Jumlah itu berada di bawah kebutuhan pada situasi normal yang sekitar 50 juta.
Masalahnya, menurut Alvino, ketika terjadi kelebihan pasokan, tak seluruh daging ayam tersebut terserap. Untuk mengatasi hal tersebut, sebenarnya pemerintah sudah memberikan solusi yaitu dengan mewajibkan perusahaan unggas, terutama yang besar-besar untuk memiliki rumah potong hewan (RPHU) dan fasilitas rantai dingin sebagai penampung karkas (daging) produksi internalnya.
“Tapi pemerintah lalai dalam melakukan pengawasan, sementara integrator ada saja alasannya, kata mereka izinnya berbelit-belit,” kata Alvino.
“Karena integrator tidak memiliki RPHU maupun cold storage, ketika panen dan kelebihan dia jual juga ke pasar-pasar becek, makanya harga ayam kebanting.”
Kemudian, Kementerian Pertanian juga sudah berupaya mengurangi populasi ayam hidup dengan menerbitkan Surat Edaran mengenai pengurangan DOC FS Ayam Ras melalui cutting HE (hatching egg) atau pembatasan jumlah umur tetas 18 hari. Kebijakan ini diharapkan bisa mengurangi pasokan DOC.
Hanya saja menurut Alvino solusi tersebut tidak dijalankan dengan baik. Pasalnya, harga DOC saat ini meningkat dari Rp 2.000-3.000 menjadi Rp 5.000. “Kalau dilihat dari harga, tren naiknya seharusnya tidak melompat seperti sekarang,” katanya.
Brasil Mengadu WTO
Diberitakan sebelumnya, Brasil menolak jawaban Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organizations (WTO) soal kebijakan impor ayam yang dinilai proteksionis. Pemerintah Brasil bersikeras meminta WTO untuk kembali menggelar investigasi atas aturan ekspor impor hewan yang berlaku di Indonesia.
Indonesia mengklaim telah menuruti permintaan WTO untuk merevisi kebijakan impor hewan dan produk hewan. Namun, klaim tersebut ditolak oleh Brasil, selaku salah satu negara pengekspor ayam ke Tanah Air.
Dikutip dari Reuters, pemerintah Brasil kembali mengadukan Indonesia ke WTO. Kali ini, Negeri Samba meminta WTO untuk kembali menginvestigasi kebijakan impor ayam Indonesia dari negara tersebut. Pasalnya, Brasil menilai Indonesia belum merevisi aturan impor hewan dan produk hewan yang dianggap proteksionis oleh perusahaan Brasil.
Sebelumnya, pada 2017, Brasil telah menggugat Indonesia untuk kasus serupa. Pada waktu itu, pemerintah Indonesia berargumen bahwa ayam dari Brasil tidak memiliki sertifikat halal. Argumen tersebut dipandang sebagai kesengajaan untuk mempersulit ekspor ayam Brasil ke Tanah Air.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan Indonesia telah melaksanakan putusan dari WTO yang dijatuhkan pada 2017 itu dengan melakukan penyesuaian regulasi dan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No 29/2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.
“Saat ini, (tindak lanjut dari pemerintah Indonesia) sedang merevisi Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) yang baru,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis.com, Senin (17/6/2019).
Oke juga menjelaskan bahwa saat ini permohonan sertifikasi veteriner berdasarkan pengajuan kuesioner oleh Brasil masih dalam tahap kajian internal atau desk review oleh Kementerian Pertanian.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Indonesia, sambungnya, adalah menyelesaikan tahapan pada proses sertifikasi veteriner untuk importasi unggas dari Brasil dan menyelesaikan revisi terbaru Permentan. “Untuk waktunya kapan selesai ada di Kementan,” kata Oke. [wip]