(IslamToday ID) – Jumlah pengangguran di Indonesia selama masa pandemi corona semakin bertambah. Ini dibarengi dengan kondisi ekonomi dalam negeri yang tak kunjung membaik selama setahun terakhir.
Ekonom senior Institute for Develompent of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini mengatakan ada dua kategori pengangguran. Pertama, pengangguran terbuka atau warga Indonesia yang sama sekali tidak bekerja, yang jumlah kenaikannya cukup pesat.
“Dengan adanya Covid-19 ini pengangguran itu bertumbuh dari sekitar 7 juta menjadi 10 (juta) hampir 11 juta orang. Jadi 3-4 juta meningkat. Itu pengangguran terbuka,” ujar Didik dikutip dari kanal YouTube Bravos Radio Indonesia, Selasa (4/5/2021).
Kedua, pengangguran terselubung. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) itu menjelaskan, pengangguran terselebung adalah orang-orang yang tidak sepenuhnya menganggur. Mereka masih bekerja beberapa jam dalam kurun waktu satu pekan lamanya.
“Orang-orang yang dalam survei satu minggu yang lalu (ditanya), ‘Kamu bekerja enggak?’ Bekerja. ‘Seminggu berapa jam?’ Dua jam tiga jam. Itu pengangguran terselubung. Jumlahnya dua kali lipat. Jadi pengangguran terbuka dan terselubung itu hampir 30 juta, atau 29 juta sekian. Jadi jumlahnya besar dan masif,” jelas Didik.
Maka itu, ia meminta pemerintah memberikan kebijakan yang serius untuk membantu dan memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat. Ini karena di samping itu, ada sektor informal jumlahnya naik dari 45-50 persen menjadi 60 persen. Angka tersebut menegaskan banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan dan harus memilih aktif di sektor informal dengan pemasukan tidak pasti.
“Apa sektor informal? (Misalnya) dia jualan yang tidak bermutu, pendapatannya rendah, jam kerjanya rendah, semuanya rendah. Jadi sekarang kita menghadapi hal-hal yang betul-betul riskan. Maka kita harus prihatin, negara dan lingkungan sekitar harus berupaya mengatasi ini. Itu keadaannya,” pungkas Didik.
Sementara, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan tingkat pengangguran muda Indonesia menjadi yang tertinggi se-Asia Tenggara.
Dari data yang ia paparkan, proporsi pengangguran berusia muda di Indonesia hampir menyentuh angka 20 persen pada 2020. Sementara negara lain seperti Filipina, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Malaysia masih berada di bawah 15 persen.
“Di antara mereka yang berusia muda ternyata Indonesia tidak ada saingannya di ASEAN atau paling tinggi sendiri dibandingkan yang lain,” ungkapnya dalam diskusi bertajuk “Teknologi Digital dan Solusi Ketenagakerjaan”, Senin (3/5/2021).
Menurut Faisal, tingginya pengangguran berusia muda itu menunjukkan masih banyak masalah dalam penciptaan tenaga kerja di Indonesia.
Kualifikasi Lulusan
Salah satunya, terkait ketidaksesuaian atau mismatch antara penciptaan lapangan kerja dengan kualifikasi lulusan baru yang terjadi sebelum pandemi Covid-19.
“Memang ternyata pengangguran yang umurnya antara 20-29 atau di 20-an tahun sudah mengalami peningkatan (pengangguran) sebelum pandemi. Sementara, yang usianya lebih tua dari itu relatif lebih flat (datar). Jadi kita dihadapkan pada masalah educated youth employment,” jelasnya.
Hal tersebut juga tergambar dari data tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang menunjukkan bahwa persentase pengangguran muda didominasi oleh mereka yang berpendidikan menengah ke atas.
Ini berkebalikan dengan asumsi kebanyakan orang bahwa makin tinggi pendidikannya, maka akan semakin mudah orang mencari pekerjaan.
“Dari sisi persentasenya yang menganggur jauh lebih banyak, dari sekolah menengah dan sekolah tinggi. Kalau kita lihat pergeserannya dari tahun ke tahun yang paling tinggi peningkatannya juga adalah yang berpendidikan sekolah menengah atau tinggi,” terang Faisal.
Belum selesai masalah pengangguran usia muda, Indonesia kini dihadapkan pada peningkatan proporsi pengangguran usia di atas 30-an tahun akibat pandemi Covid-19.
Hal ini, sambung Faisal, membuat pemerintah harus berpikir ekstra keras untuk menciptakan lapangan kerja baru yang sesuai bagi para pekerja di usia tersebut.
“Yang sudah mapan, relatif lama di dunia kerja ini justru berkurang. Agak cukup signifikan juga jadi awalnya hanya sekitar 20 persen saja setelah 2020 hampir 40 persennya. Jadi proporsinya membesar,” pungkasnya. [wip]