(IslamToday ID) – Impor gula konsumsi yang rutin dilakukan Indonesia tidak melulu berkorelasi dengan penurunan harga di tingkat eceran. Struktur pasar gula di dalam negeri justru menyebabkan harga eceran di dalam negeri terus naik.
Hal itu diungkapkan oleh ekonom pertanian yang juga Ketua Umum Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gapperindo) Agus Pakpahan, Rabu (19/5/2021).
Ia mengatakan data impor selama 2003 sampai 2016 bahkan memperlihatkan kecenderungan naiknya harga eceran gula seiring naiknya volume impor.
“Impor gula tidak menjadi penentu penurunan harga di gula eceran di dalam negeri. Artinya pasar gula di dalam negeri tidak bersifat sebagai pasar yang kompetitif,” kata Agus seperti dikutip dari Bisnis.com.
Riset yang dikutip Agus memperlihatkan bahwa saat total impor gula Indonesia, baik untuk konsumsi maupun industri mencapai 3,75 juta ton pada 2014, harga rata-rata gula eceran berada di angka Rp 11.326 per kilogram (kg). Harga rata-rata eceran kembali naik pada 2016 menjadi Rp 14.133 per kg meski impor naik menjadi 4,53 juta ton.
“Perilaku harga gula di Indonesia ditentukan oleh struktur pasar. Kalau sifat pasarnya oligopolistik, maka harga bisa diatur oleh pelaku pasar. Caranya banyak, salah satunya lewat pengendalian stok,” ungkapnya.
Dengan mengendalikan stok, kata Agus, arus gula yang keluar ke pasar bisa diatur. Harga pun bisa bergerak sesuai yang ditargetkan.
Sampai saat ini, stok gula nasional tercatat berada di angka 450.630 ton yang bisa memenuhi kebutuhan selama dua bulan ke depan. Pada sisi lain, harga rata-rata nasional berada di level Rp 13.100 per kg atau lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata harga bulan lalu yakni Rp 13.200 per kg.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sebelumnya menyebutkan bahwa pemerintah telah mengeluarkan izin impor gula mentah untuk diolah sebagai gula konsumsi sebanyak 680.000 ton. Volume tersebut setara dengan 646.944 ton gula kristasl putih (GKP) siap konsumsi dan akan didistribusikan untuk mencegah terulangnya lonjakan harga gula sebagaimana terjadi pada tahun lalu.
Selain gula mentah, pemerintah juga memberi alokasi impor GKP 150.000 ton yang ditujukan sebagai iron stock. Selain itu, stok GKP impor yang dipegang oleh BUMN bakal dipakai untuk antisipasi lonjakan harga, terutama di Indonesia Timur.
Lutfi mengharapkan harga gula di Indonesia timur bisa mendekati HET Rp 12.500 per kg. “Kalau sampai ada lonjakan harga, apalagi di Indonesia timur, saya tidak bisa toleransi dan sudah saya sampaikan ke RNI kalau ada apa-apa bongkar di Indonesia timur,” katanya.
Pembenahan Tata Niaga
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani menilai untuk meningkatkan efektivitasnya, impor gula perlu diikuti adanya pembenahan tata niaga di dalam negeri.
“Terdapat faktor-faktor lain yang juga berkontribusi pada rendahnya produksi gula dalam negeri, seperti laju konversi lahan pertanian dan rantai distribusi yang panjang, juga berperan dalam mengurangi efektivitas impor gula sebagai alat untuk stabilisasi harga,” ujar Arumdriya.
Oleh karena itu, ia menegaskan pemerintah perlu terus meningkatkan upaya untuk memperbaiki tata niaga gula, baik secara on-farm dan off-farm.
“Selain revitalisasi mesin dan pabrik gula, kebijakan-kebijakan yang dibuat juga perlu fokus pada pemenuhan kebutuhan gula di dalam negeri. Regulasi impor perlu dibuat sesederhana mungkin dan memungkinkan impor dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dalam membaca kebutuhan pasar,” lanjutnya.
Data United States Department of Agriculture (USDA) 2020 menunjukkan, Indonesia memproduksi 29,3 juta ton tebu yang digiling menjadi 2,1 juta ton gula untuk konsumsi selama periode Mei 2020 hingga Mei 2021. Indonesia harus mengimpor sekitar 5,2 juta ton gula untuk memenuhi konsumsi domestik yang mencapai 7,4 juta ton.
Terus bertambahnya jumlah konsumsi gula di Tanah Air, yang salah satunya disebabkan oleh laju populasi penduduk, tidak bisa diimbangi oleh kemampuan petani tebu dan pabrik gula. Salah satu penyebab rendahnya produksi gula di Indonesia disebabkan oleh umur fasilitas produksi gula tebu yang sudah tua.
Data USDA 2020 menunjukkan sebanyak 40 dari 56 pabrik gula yang ada di Indonesia berusia lebih dari 100 tahun. Pemerintah sudah merespons masalah ini melalui revitalisasi pabrik gula yang sudah ada dan membangun pabrik-pabrik baru.
Masalah lain penyebab rendahnya produksi gula adalah laju konversi lahan pertanian. USDA juga menyebut sebanyak 56 persen area panen tebu yang ada di Indonesia berlokasi di Jawa.
Dampak Konversi Lahan
Menurut studi Rondhi et al, (2018), laju konversi lahan pertanian secara umum di Indonesia adalah 187,720 ha/tahun. Angka ini diperkirakan dapat terus meningkat mengingat pembangunan pusat kawasan industri di Jawa Tengah. Pengembangan infrastruktur besar-besaran yang terjadi di Pulau Jawa pun berpotensi menurunkan luas area panen dan jumlah panen tebu setiap tahunnya.
Arum menambahkan, ongkos logistik yang tinggi juga perlu menjadi perhatian. Data BPS 2019 menunjukkan rata-rata margin perdagangan dan pengangkutan di Indonesia adalah sebesar 33,18 persen dan Maluku merupakan provinsi dengan margin perdagangan dan pengangkutan tertinggi, yaitu sebesar 57,49 persen.
Tingginya margin perdagangan dan pengangkutan disebabkan oleh panjangnya rantai perdagangan bagi provinsi yang tidak menghasilkan gula sendiri. Sebagai contoh, Maluku harus mengimpor mayoritas gulanya dari Jawa Timur (99,96 persen) dan Nusa Tenggara Barat (0,04 persen).
Dari luar provinsi, gula harus melalui tiga mata rantai sebelum gula sampai di tangan konsumen, yaitu distributor, agen dan pedagang eceran.
“Biaya logistik yang tinggi sekaligus panjangnya rantai perdagangan membuat harga gula di tingkat konsumen mengalami kenaikan yang cukup tinggi,” katanya.
Tantangan terakhir dan cukup fundamental adalah belum tersedianya satu data tebu dan gula yang akurat. Sebagaimana permasalahan yang melanda komoditas lain, data akurat yang dapat dijadikan acuan masih relatif sulit ditemukan di Indonesia.
Khusus untuk gula, data yang dapat diakses oleh publik berbeda-beda antara satu instansi dengan instansi lain. Kalau data yang tidak akurat dijadikan dasar pengambilan kebijakan, lanjut Arum, maka kebijakan yang dihasilkan tidak akan mampu merespons permasalahan yang ada.
“Pemerintah, terutama Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, perlu untuk merumuskan metode pengumpulan data dan meningkatkan transparansi mengenai database yang dipakai untuk merumuskan kebijakan. Hal ini harus dilakukan agar kebijakan yang diambil dapat mengilustrasikan realita yang ada di lapangan dan dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih efektif,” ujarnya. [wip]