IslamToday ID -Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO, Affandi Ismail mendesak Presiden Jokowi untuk mundur dan juga mengajak rakyat untuk revolusi Indonesia 2021.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly harun menilai, tuntutan dan seruan Ketua Umum PB HMI MPO ini merupakan kode keras.
“Ini kode yang sangat keras ya kode yang sangat keras dari seorang ketua umum PB HMI salah satu organisasi kemahasiswaan yang memang cukup besar dan berpengaruh dan tanah air dan juga sudah melahirkan tokoh-tokoh besar,” ujar Refly Harun melalui channel youtube miliknya, Kamis (1/7/2021)
Dua kode keras ini seharusnya juga menjadi momentum bagi presiden Jokowi untuk introspeksi diri. Selama tujuh tahun memerintah manakah yang mengecewakan masyarakat.
“Pemerintahan presiden Jokowi juga harus introspeksi dalam menghadapi imbauan seperti ini. Apakah pemerintahan selama 7 tahun ini sudah on the right track atau tidak coba cek pada bagian mana masyarakat atau rakyat tidak puas,” kata Refly.
Dari kaca mata hukum, menurut Refly dua seruan tersebut kontradiktif. Menurutnya, Revolusi itu adalah perubahan radikal yang kadang-kadang dicapai dengan jalur ataur track diluar konstitusi. Sedangkan menuntut presiden mundur termasuk jalan konstitusional.
Lanjut Refly, hal hal yang berada di luar konstitusi tidak mesti sifatnya inkonstitusi. Bisa saja ekstrakonstitusional walaupun tidak diatur dikonstitusi. Misalnya reformasi 1998. Gerakan tersebut juga merupakan contoh gerakan diluar konstitusi.
“bisa dikatakan seruan yang sifatnya bisa ekstra konstitusional akan memiliki legimitasi kalau mendapat dukungan. Kalau tidak ya cerita omong kosong ” ujarnya
Jokowi Mundur ?
Terkait desakan agar Jokowi mengundurkan diri, Refly dalam sejarah Indonesia pergantian kepemimpinan nasional pergantian presiden dan wakil presiden itu bisa terjadi karena tiga jalan.
Pertama adalah jalan normal. Yakni melalui pemilihan presiden secara langsung tiap 5 tahun sekali. Karena pilpres terakhir 2019 maka pilpres berikutnya adalah 2024.
Kedua, jalan yang tidak normal tapi tetap konstitusional. Yakni adalah jalan impeachment atau pemakzulan dengan cara menggunakan pasal 7A UUD 1945. Cara ini harus melalui mekanisme politik dan hukum mulai dari DPR, hingga diproses di Mahkamah Konstitusi (MK)
MK harus menggelar siding untuk membuktikan bahwa presiden sudah melakukan pelanggaran atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Setelah itu, DPR mengundang MPR untuk sidang pemberhentian presiden dan wakil presiden atau presiden saja.
Lanjut Refly, Jaka jalan pemakzulan sifatnya sangat prosedural dan sangat terkait dengan konstelasi politik. Biasanya sangat bergantung pada konfigurasi politik di dalam kekuasaan di dalam DPR .
“Dan sekarang kita tahu dikuasai oleh pemerintahan atau rezim presiden Jokowi,” ujarnya
Namun demikian, ada pengalaman berharga diakhir era Orde baru. Karena adanya dorongan besar dari rakyat, MPR di bawah pimpinan Harmoko pada akhirnya meminta Presiden Soeharto mundur.
“Kita tahu bahwa harmoko adalah loyalis kelas berat presiden Soeharto pada waktu itu dan juga Ketua Umum Golkar , tapi Harmoko sendiri yang memimpin atau meminta agar presiden mengundurkan diri,” ujarnya
Oleh kerena itu, menurut Refly perubahan sangat mungkin terjadi kalau gelombang panggilan revolusiyang diserukan oleh PB HMI MPO disambut oleh elemen-elemen lainnya. Bukan tidak mungkin DPR tergerak.
“Alasannya ya bisa dikonstruksikan secara objektif. Misalnya presiden memang incapacity, dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan tugasnya,” ujarnya
Ketiga jalan abnormal. Yaitu jalan yang pernah ditempuh oleh presiden Soeharto. Refli mengatakan jika ketiga jalan pergantian pemimpin ini seluruhnya pernah dipraktekan di Indonesia .
Penulis Kanzun / Arief