(IslamToday ID) – Pemerintah diminta menyetop kebijakan impor beras saat para petani Indonesia sedang panen raya. Pemerintah juga harus membuat kebijakan agar harga tetap stabil, sehingga petani tidak menanggung rugi terutama saat panen.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al Jufri melalui keterangan tertulis, Selasa (28/9/2021).
“Jangan ada lagi impor beras justru saat panen raya. Negara harus melindungi petani. Ini tanggung jawab pemerintah membantu petani sesuai amanat UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,” kata Salim seperti dikutip dari KompasTV.
Menurutnya, masa depan dunia berada pada sektor ketahanan pangan. Indonesia memiliki potensi luar biasa dari sektor pertanian, sehingga ke depan bisa menjadi negara besar jika keberpihakan terhadap petani dilakukan.
“PKS pernah mengirim Pak Anton Apriantono sebagai Menteri Pertanian dan berhasil melakukan swasembada beras sehingga tak perlu impor beras,” ujarnya.
Selain itu, pentingnya melakukan regenerasi di kalangan petani guna melahirkan petani milenial. Berdasarkan data BPS, 60,8 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun.
“PKS mendorong pemerintah untuk memberikan akses permodalan dan insentif bagi profesi petani, sehingga menarik generasi muda menjadi petani. Saat ini, regenerasi petani berjalan lambat dan berakibat pada banyaknya petani dengan usia lanjut,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengamini jika masa depan dunia adalah ketahanan pangan. Tanah Pasundan, katanya, sudah surplus produksi padi dan bahkan bisa mengirim 1 ton lebih untuk nasional.
“Kita sudah ujicoba metode baru di Jabar, kalau biasanya 1 hektare bisa menghasilkan 5-6 ton, dengan metode baru bisa 10-11 ton, dan ini sudah berhasil di tiga kabupaten,” kata Kang Emil.
Ia juga menyebut jika gerakan petani milenial sudah dilakukan di Jawa Barat.
“Saat pandemi ada tiga sektor yang tumbuh, dua diantaranya yakni soal pangan dan digital. Jabar sudah menggabungkan keduanya agar anak-anak muda bisa berkecimpung di dunia pertanian. Di Jabar misalnya, sekarang kasih makan ikan cukup lewat handphone, mencari ikan di Pelabuhan Ratu cukup pakai aplikasi satelit. Yang biasanya 300 kg sekarang bisa 1 ton,” kata Emil.
Stok Bulog Aman
Sejak tahun lalu, produksi beras sudah mulai membaik. Efeknya, stok di gudang Bulog meningkat. Belum lagi ditambah dengan sisa impor tahun 2018 lalu.
Bahkan, Bulog kewalahan menampung sisa stoknya karena disamping terbebani sisa impor, juga harus tetap menyerap hasil produksi dari petani. Di sisi lain, tugas penyaluran justru menurun drastis.
Pekan ini, Bulog melaporkan serapan yang telah mencapai lebih dari 1 juta ton. Angka itu sudah di batas aman karena level aman cadangan beras pemerintah (CBP) di angka 1-1,5 juta ton. Laporan Bulog itu memperkuat komitmen Direktur Utama Bulog, Budi Waseso untuk tidak melakukan impor beras.
Dari fakta itu, tentu tak ada lagi celah impor beras setidaknya hingga tahun depan. Terlebih lagi, tahun ini Kementerian Pertanian (Kementan) memproyeksi akan terjadi surplus yang tentu berpengaruh pada stok Bulog tahun depan.
Tahun 2022, Kementan menargetkan produksi padi mencapai 55,20 juta ton, lebih tinggi dari tahun 2020 di angka 54,65 juta ton dan menjadi 31,33 juta ton beras. Tingginya produksi tentu juga akan berpengaruh pada stok Bulog.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Juli 2021 Indonesia diketahui melakukan impor beras sebanyak 41.600 ton dengan nilai mencapai 18,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp 266,4 miliar (kurs Rp 14.400).
Jika dibandingkan dengan bulan Juni 2021, realisasi nilai impor pada Juli mengalami penurunan 38,6 persen, dimana nilai impor beras pada Juni 2021 mencapai 30,12 juta dolar AS.
Secara rinci, impor beras yang dilakukan Indonesia pada Juli 2021 terbanyak diimpor dari India dengan volume mencapai 29.520 ton dengan nilai 12,2 juta dolar AS. Disusul oleh Vietnam dengan volume impor sebesar 8.850 ton dengan nilai 4,4 juta dolar AS.
Selain India dan Vietnam, Indonesia juga melakukan impor beras dari Thailand dengan volume sebanyak 2.150 ton dengan nilai 1,4 juta dolar AS dan Pakistan dengan volume impor sebesar 1.000 ton dengan nilai 390.00 dolar AS.
Sementara dengan negara lainnya, Indonesia mengimpor beras dengan volume sebanyak 80 ton dengan nilai 176.361 dolar AS. Adapun secara kumulatif atau sepanjang Januari hingga Juli 2021, Indonesia sudah melakukan impor beras sebanyak 242.900 ton dengan nilai mencapai 110,2 juta dolar AS.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung (Unila) Bustanul Arifin mengakui produksi tahun ini sudah cukup baik, bahkan lebih baik dari tahun 2020. “Produksi beras kali ini tidak separah tahun 2019 lalu ketika terjadi kemarau ekstrem,” ujarnya.
Terkait impor pangan ini, Bustanul melaporkan berdasarkan dari Pemberitahuan Impor Barang (IPB) Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), nilai impor beras dari tahun 2014 hingga Juli 2021 mencapai Rp 40 triliun. Itu angka yang tak sedikit.
Rawan Korupsi
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menganalisis praktik rent seeking impor pangan. “Impor pangan ini memiliki sederet catatan praktik korupsi, terutama terkait perizinan dan penentuan kuota,” ungkap peneliti Fitra, Badiul Hadi.
Ia menyebut kasus impor bawang putih pada 2018 lalu, kasus ini melibatkan pejabat di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, politisi, pihak ketiga dan diduga kerugian negara mencapai sekitar Rp 3 triliun dari mark up harga.
Setahun sebelumnya, kasus suap kuota impor daging sapi melibatkan Menteri Pertanian, dan pejabat di Kementan, Kemendag, politisi, dan pihak ketiga dengan total impor senilai Rp 2,5 triliun.
Hal yang sama juga, lanjutnya, dalam penentuan kuota impor bawang putih sebanyak 20.000 ton pada 2019 ditengarai meminta fee sebesar Rp 1.700-1.800 per kilogram dari bawang putih yang diimpor. Kasus tersebut melibatkan anggota DPR.
Impor pangan menjadi celah korupsi para pihak yang memang berniat mengambil keuntungan. Oleh karena itu, pemerintah harus memperbaiki tata kelola pangan lokal dengan lebih berpihak kepada petani atau masyarakat.
Cinta produk dalam negeri harus direalisasikan dalam kebijakan bukan sekadar jargon. “Konsep kedaulatan pangan harus diperkuat, selama ini pemerintah mengedepankan konsep ketahanan pangan,” katanya seperti dikutip dari Koran-Jakarta.
Selain itu, petani dan nelayan harus diberi stimulus agar bisa meningkatkan produksinya sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika produksi sudah mencukupi, pemerintah harus berkomitmen untuk menghentikan impor yang diawasi ketat oleh KPK.
Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan langkah pemerintah merencanakan impor memang ganjil karena terjadi di saat musim panen. Hal itu seperti yang terjadi pada rencana impor Maret lalu.
Saat itu, petani memasuki musim panen raya pada April-Mei. “Wacana itu mempengaruhi psikologi pasar sehingga harga beras domestik tertekan,” ujar Faisal dikutip dari blog pribadinya.
Ia menegaskan, bagi-bagi kuota impor sudah lama menjadi kelaziman dalam berbagai komoditas strategis, seperti beras, gula, garam, daging, dan bawang putih. Pemicunya adalah selisih harga yang relatif lebar antara harga domestik dan harga internasional. Lebih menggiurkan lagi, volume impornya relatif sangat besar mencapai jutaan ton untuk tiga komoditas pertama.
“Bapak Presiden, ganti saja segera menteri-menteri Bapak yang gandrung mengimpor. Mereka mau gampangnya saja, lebih mengedepankan value extraction alias percaloan yang menguntungkan segelintir orang ketimbang value creation dengan kebijakan kreatif dan inovatif yang menaburkan maslahat bagi banyak orang,” pungkas Faisal. [wip]