(IslamToday ID) – Pembangunan besar-besaran di era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon ataupun deforestasi.
Hal tersebut diungkap oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11/2021).
Siti menyatakan FoLU Net Carbon Sink 2030 tak bisa diartikan sebagai nol deforestasi (zero deforestation). Ia menegaskan hal tersebut perlu dipahami semua pihak atas nama kepentingan nasional.
Melalui agenda FoLU Net Carbon Sink, katanya, Indonesia menegaskan komitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (di antaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030.
“Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan atau penyimpanan karbon sektor kehutanan. Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” tegas Siti dalam siaran persnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Ia pun mengklaim dengan menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk ketetapan nilai dan tujuan (values and goals establishment), serta membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
Ia menyatakan kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan. Di samping itu, sambungnya, tentu saja harus berkeadilan.
“Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia,” ujar politikus NasDem itu.
Untuk itu, Siti mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain. Pasalnya, di situ ada persoalan cara hidup, gaya hidup misalnya tentang definisi rumah huni yang berbeda antara di Indonesia dengan di negara lain.
“Jadi harus ada compatibilty dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detail. Bila perlu harus sangat rinci,” tegas Siti.
Ia lalu membandingkan Indonesia dengan kemajuan pembangunan negara lain. Ia menyatakan negara maju sudah selesai membangun sejak 1979-an, sehingga klaimnya sekarang hanya menikmati hasil pembangunan. Artinya, sambung Siti, sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut net zero emission.
“Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional? Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya,” katanya.
Ia pun menyebut Kalimantan dan Sumatera, di mana banyak jalan terputus karena harus melewati kawasan hutan.
“Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,” katanya.
Dengan target penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional, Indonesia terus berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur, dan mengerjakannya secara konsisten. Karena itu tidak bisa membandingkan upaya Indonesia dengan negara lainnya, apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas.
“Indonesia dengan target penurunan emisi 41 persen saja, artinya kita mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Sementara mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an juta, tapi bunyinya 50 persen. Jadi faktor angka absolut ini yang harus dipahami. Arahan Bapak Presiden kepada saya sangat jelas bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” jelasnya. [wip]