(IslamToday ID) – Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyatakan pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat di parlemen. Namun demikian tidak otomatis memberikan hak ke parlemen untuk membuat presidential threshold (PT).
“Fungsi pemilu adalah untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat untuk mengambil keputusan politik. Bukan untuk membuat ambang batas,” kata Bivitri seperti dikutip dari DetikCom, Selasa (4/1/2022).
Menurut pengajar STHI Jantera itu, ada logika yang keliru untuk menyatakan adanya hubungan sebab akibat antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif dalam sistem presidensial.
Dalam sistem presidensial, rakyat memang memilih dua cabang kekuasaan, berbeda dengan parlementer yang pilihannya pada parlemen dan kemudian parlemen yang membentuk pemerintahan berdasarkan suara terbanyak dan dengan berkoalisi.
“Kita juga bisa membedakan makna threshold untuk manajemen pemilu seperti dalam hal parpol, dengan penentuan ambang batas yang pada esensinya mengurangi kualitas keterwakilan,” beber Bivitri.
Menurutnya, presidential threshold membatasi kompetisi demokrasi dan membuka ruang terlalu lebar untuk oligarki. “Dan ini yang tidak diiinginkan oleh konstitusi dengan adanya bangunan negara hukum di dalam konstitusi kita,” tegas Bivitri.
Secara tegas ia berseberangan dengan pendapat mantan Wakil Ketua MK Harjono. Di mana Harjono menyatakan salah satu fungsi pemilu adalah membuat threshold/ambang batas di berbagai tahapan.
“Juga keliru untuk mengatakan pasal 8 ayat (3) sebagai dasar untuk mengatakan bahwa UUD 1945 membedakan parpol berdasarkan perolehan suara. Sebab ketentuan itu untuk memberi jalan keluar dalam situasi luar biasa. Dan memang pasal 6a mengatur bahwa pemenang pilpres adalah suara terbanyak. Itu memang konsekuensi dari kompetisi politik. Tapi dalam presidential threshold soalnya berbeda. Presidential threshold itu untuk membatasi sebelum berkompetisi,” terang Bivitri.
Sebagaimana diketahui, Harjono menyatakan salah satu fungsi pemilu adalah membuat ambang batas di segala lini politik, salah satunya presidential threshold. Malah, kata Harjono, buat apa pemilu bila tidak ada threshold.
“Apa artinya pemilu kalau semua partai politik diberi hak yang sama tanpa memperhitungkan perolehan suara yang didapatkan,” katanya.
Hal itu tertuang dalam pendapat ahli di Putusan MK No 44/PUU-XV/2017. Menurut Harjono, threshold itu juga bisa dilihat dalam pasal 8 ayat (3) UUD yang berbunyi:
“Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambat tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatan.”
“(Pasal 8 ayat 3) secara jelas memberi hak yang beda antar partai politik berdasarkan perolehan suara,” ujar Harjono. [wip]