(IslamToday ID) – Investor asal Singapura ramai-ramai mengakuisisi saham perbankan di Indonesia. Paling baru ada Singapore Telecommunications (Singtel) dan perusahaan ride hailing-to-payment Grab Holdings Ltd yang ingin mencicip gurihnya bisnis perbankan di Indonesia.
Dua investor kakap Singapura tersebut masing-masing telah membeli 16,3 persen saham PT Bank Fama International dari PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK).
Singtel membayar tunai sebesar Rp 500 miliar atau sekitar 48 juta dolar AS untuk akuisisi saham Bank Fama tersebut. Singtel berharap investasinya ini akan mengembangkan proposisi perbankan digital Fama dan mendorong inklusi keuangan yang lebih besar ke depannya.
Sebelumnya, investor Singapura lainnya, Sovereign Wealth Fund asal Singapura, GIC Private Limited, sudah jadi pemegang saham PT Bank Jago Tbk (ARTO). GIC telah menggenggam 8,08 persen saham ARTO pasca bank ini menyelesaikan penawaran terbatas dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) alias rights issue pada Maret 2021.
Tak mau ketinggalan, Sea Group juga telah mengakuisisi PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank BKE). Lalu, Sea Group mengkonversi menjadi bank digital dan mengganti nama menjadi Seabank Indonesia.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin melihat alasan investor Singapura tertarik dengan perbankan di Indonesia karena cepat balik modal. Juga secara profitabilitas lebih tinggi yang terukur dari indikator keuangan seperti net interest margin (NIM), return on asset, return equity, maupun beban operasional terhadap pendapatan operasional.
“Selain itu, kemudahan dalam investasi dan apalagi persyaratan untuk investor di perbankan tidak seketat di negara lain. Bahkan Singapura sendiri lebih ketat dari Indonesia,” ujar Amin seperti dikutip dari Kontan, Ahad (23/1/2022).
Ia memprediksi persaingan di antara bank digital di Indonesia di masa yang akan datang akan lebih seru. Apalagi banyak investor asing yang berusaha masuk, ditambah dengan adanya minat beberapa konglomerat lokal untuk berinvestasi di bank-bank digital.
“Jika kita melihat industri perbankan, maka peta persaingan akan terjadi antar bank konvensional, antar bank konvensional dan bank syariah, antar bank dengan fintech, dan antar bank konvensional, syariah, fintech dengan bank digital,” paparnya.
Mereka akan memacu meningkatkan layanan dan membuat produk dan layanan yang terbaik untuk memenangkan persaingan. Sehingga, nasabah dan masyarakat konsumen diberikan banyak pilihan untuk menetapkan bertransaksi dan menjadi bagian yang mana dari industri yang ada dan berkembang tersebut.
Amin melihat masuknya bigtech ke perbankan lokal akan berdampak positif bagi perbankan lokal. Tak hanya persaingan, tapi juga akan ada transfer teknologi dan pengetahuan dari mereka untuk perbankan Indonesia, dan ini akan bagus untuk menjadikan industri perbankan dan keuangan Indonesia menjadi lebih baik ke depan.
Meski kian diminati oleh asing, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menyatakan, kepemilikan industri perbankan masih didominasi oleh investor lokal sebesar 73 persen. Kontribusi itu disumbang pemerintah pusat maupun daerah hingga swasta.
Masuknya investor asing ke bank lokal seiring upaya OJK memperkuat industri perbankan dengan mewajibkan bank memiliki modal inti paling tidak Rp 3 triliun di penghujung 2022. Tujuannya, agar bank juga bisa memenuhi tuntutan nasabah yang semakin digital.
“Ini harus kita lakukan, bila bank tidak menaikkan modal, terus seperti itu saja, maka nanti akan mati sendiri dan akan mengganggu stabilitas perekonomian,” kata Heru.
Ia pun melihat banyak investor asing maupun lokal yang masuk ke bank kecil ini memiliki komitmen untuk membesarkan bank.
Kendati saat ini bank-bank kecil ini masih memiliki fundamental yang kurang menarik. Ia menyatakan, OJK akan mendorong setiap bank ini meningkatkan fundamentalnya. Sejalan dengan itu, investor juga akan meningkatkan kapasitas bank tersebut. [wip]