(IslamToday ID) – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mempertanyakan klaim pemerintah Indonesia atas hasil perjanjian kerja sama Flight Information Region (FIR) atau pelayanan ruang udara dengan Singapura. Ia menilai klaim tersebut masih sulit diketahui kebenarannya.
“Pemerintah mengklaim FIR yang berada di atas Kepulauan Riau dan sekitarnya telah berada di bawah kendali Indonesia dan tidak lagi Singapura. Klaim ini tentu sulit diketahui kebenarannya sebelum secara cermat perjanjian penyesuaian FIR dipelajari,” ujar Hikmahanto dalam keterangan pers seperti dikutip dari Kompas, Rabu (26/1/2022).
“Saat ini perjanjian tersebut belum dapat diakses oleh publik. Bila saatnya perjanjian ini hendak disahkan oleh DPR maka publik akan mendapat akses,” jelas Hikmahanto.
Namun, lanjutnya, apabila merujuk pada siaran pers oleh Kemenko Marves dan berbagai pemberitaan di Singapura sepertinya kendali FIR belum berada di Indonesia.
Hikmahanto lantas menjelaskan alasannya. Pertama, siaran pers Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.
“Ini yang oleh media Singapura disebut hal yang memungkinkan bagi Bandara Changi untuk tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan,” ungkapnya.
Kedua, menurut media Singapura, seperti Channel News Asia, maka pendelegasian diberikan oleh Indonesia untuk jangka waktu 25 tahun. “Repotnya jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan kedua negara,” tutur Hikmahanto.
“Ini berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan persiapan serius untuk benar-benar mengambil alih FIR di atas Kepulauan Riau. Apakah 25 tahun tidak terlalu lama? Lalu tidakkah perpanjangan waktu berarti tidak memberi kepastian,” tegasnya.
Hikmahanto mengakui, konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan. Namun pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura.
“FIR atas ruang udara suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara bisa saja dikelola oleh negara lain,” ucapnya.
“Hanya saja bila dikelola oleh negara lain menunjukkan ketidakmampuan negara tersebut dalam pengelolaan FIR yang tunduk pada kedaulatannya,” tambah Hikmahanto.
Sehingga dari sisi Indonesia muncul sejumlah pertanyaan atas perjanjian penyesuaian FIR. Antara lain, apakah hingga saat ini Indonesia belum dapat mengelola FIR di atas Kepulauan Riau. Kemudian, apakah butuh 25 tahun lagi untuk akhirnya bisa melakukannya. Ataukah 25 tahun tersebut mungkin tidak mencukupi sehingga perlu untuk diperpanjang lagi.
“Lalu menjadi pertanyaan dimanakah kehormatan (dignity) Indonesia sebagai negara besar bila tidak mampu mengelola FIR di atas wilayah kedaulatannya dan menjamin keselamatan penerbangan berbagai pesawat udara,” tutur Hikmahanto.
“Apakah Indonesia rela bila Changi terus berkembang secara komersial karena FIR di atas Kepulauan Riau dipegang oleh Singapura dan tidak Soekarno-Hatta?” tanya Hikmahanto.
“Berbagai pertanyaan ini yang mungkin akan ditanyakan oleh Komisi I DPR saat Perjanjian Penyesuaian FIR dibahas untuk pengesahan,” tambahnya. [wip]