(IslamToday ID) – RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mendapat penolakan dari kalangan masyarakat karena menghilangkan frasa ‘madrasah’. Hilangnya kata madrasah itu dinilai tidak bisa dianggap sepele, karena bisa berdampak lahirnya kebijakan-kebijakan yang merugikan.
Berikut poin-poin alasan penolakan RUU Sisdiknas yang gencar disuarakan:
Membuka ruang liberalisasi pendidikan
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriawan Salim menilai RUU Sisdiknas akan membuka lebar ruang liberalisasi pendidikan. Sebab, menurut pemahamannya, misalnya di pasal 18 itu pendidikan formal dibagi menjadi tiga, yakni pra persekolahan, persekolahan, persekolahan mandiri.
“Lha yang kategori persekolahan mandiri memiliki input yang berbeda dari sekolahan umum,” kata Satriawan seperti dikutip dari TVOne, Senin (28/3/2022).
Ia khawatir pada persekolahan mandiri akan membuka ruang eksklusivitas atau ruang favoritisme atau sekolah kategori unggulan. Sebab di pendidikan formal kategori ini mereka punya kurikulum sendiri dan punya input sendiri, sehingga dikhawatirkan biaya pendidikan di sekolah juga makin tinggi.
Kemudian yang kedua terkait dengan pembiayaan pendidikan. Menurut Satriawan, ini juga menjadi isu sentra di RUU Sisdiknas ini karena dituliskan bahwa pemerintah berkewajiban membiayai pendidikan tapi hanya di pembiayaan dasar saja. Itu pun hanya bagi sekolah yang masuk kualifikasi atau kategori.
“Ada kekhawatiran kami di kalangan guru, apakah dana BOS-nya akan dikurangi nanti? Padahal di pasal 31 UUD 1945 kan pendidikan itu kewajiban pemerintah untuk membiayai. Nah kalau di sini sekolah-sekolah yang menjadi tuntutan kewajiban adalah masyarakat yang membiayai,” ungkapnya.
Melanggar konstitusi UUD 1945
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menilai penghapusan istilah madrasah dalam RUU Sisdiknas tidak sesuai konstitusi. “Penghapusan madrasah dalam RUU Sisdiknas yang beredar tidak sesuai dengan teks dan spirit UUD NRI 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5,” kata HNW, Senin (28/3/2022).
Seharusnya, menurutnya, RUU Sisdiknas memayungi, mengakui, dan mengembangkan seluruh bentuk satuan pendidikan yang diakui, sudah berkembang, diterima, diakui oleh masyarakat dan negara.
“Bukan justru menghapuskan institusi madrasah dan memperbesar diskriminasi antar-satuan pendidikan tersebut,” kata HNW.
Ia menganggap tidak disebutkannya madrasah merupakan langkah mundur ke tahun 1989, atau kembali ke masa Orde Baru, di mana dalam UU Sisdiknas waktu itu (UU No 2/1989) madrasah bukan bagian dari satuan pendidikan nasional.
Perlebar dikotomi pendidikan
Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai hilangnya kata ‘madrasah’ dalam RUU Sisdiknas akan makin memperlebar dikotomi pendidikan di Indonesia.
Ia mengatakan bab penjelasan dalam RUU tidaklah mengikat dan tidak satu kesatuan dengan batang tubuhnya, sehingga hal itu memang ada kesan bahwa madrasah tidak ada.
Ia kemudian membandingkan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang masih berlaku saat ini. Yang mana di dalam undang-undang tersebut jelas disebut bahwa madrasah masuk dalam jenjang pendidikan formal atau setara dengan sekolah reguler.
“Di UU No 20 Tahun 2003 secara eksplisit menyebutkan bahwa jenjang pendidian formal itu ada pra sekolah yaitu TK dan RA, atau nama lain yang sejenis, kemudian pendidikan dasar terdiri atas SD atau MI, SMP atau MTs, kemudian SMA atau MA, kemudian SMK atau MA Kejuruan. Dan itu memang menjadi pasal-pasal penting yang berkaitan dengan adanya integrasi dan pengakuan secara legal konstitusional eksistensi madrasah di Indonesia,” ungkap Mu’ti dalam sebuah acara di TVOne, Senin (28/3/2022).
Sehingga, lanjutnya, penyebutan kata madrasah di UU No 20 Tahun 2003 itu menjadi bagian penting dalam mengatasi persoalan dikotomi pendidikan yang selama ini masih terjadi.
Kerdilkan makna filosofis pendidikan
Ketua III PB PII Bidang Pemberdayaan Masyarakat Pelajar (PMP) Yaumal Akbar mengatakan draf RUU Sisdiknas mengesampingkan pendidikan non-formal dan informal. Menurutnya, draf RUU itu telah mengkerdilkan makna filosofis dan fundamental dari pendidikan.
“Revisi UU Sisdiknas telah mengerdilkan makna pendidikan yang filosofis dan fundamental, hampir keseluruhan pasalnya yang dimuat dalam draf revisi UU Sisdiknas. Sebagian besar bicara pilar jalur pendidikan formal, kami khawatir pendidikan kemudian hanya dimaknai sekolah saja dan ini sangat mengkerdilkan makna pendidikan,” ujar Akbar.
Ia juga mengatakan bahwa seharusnya dalam draf RUU Sisdiknas tidak hanya mengakomodir pendidikan formal saja, tetapi mampu menempatkan pendidikan formal, non-formal, dan informal setara, guna menunjang kemerdekaan pendidikan di Indonesia.
Selain tidak mengakomodir pendidikan non formal dan informal secara utuh, Akbar juga menilai bahwa draf RUU Sisdiknas sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, negara seolah lepas tanggung jawab pada pelaksanaan pendidikan informal. Padahal, menurut Akbar, pada pasal UU Sisdiknas telah disebutkan bahwa negara wajib mendorong kesuksesan pendidikan termasuk informal.
Hilangkan jejak sejarah
Ketua MUI KH Cholil Nafis mengatakan keberadaan madrasah sudah ada jauh sebelum SMP atau SMA itu ada. Bahkan, menurutnya, madrasah pernah mencetak banyak lulusan yang duduk di posisi-posisi penting di pemerintahan republik ini.
“Istilah madrasah sudah ada sebelum SMP atau SMA itu ada. Hasil pendidikannya ada yang jadi presiden, wapres, menteri, DPR dan lain-lain,” tulis Cholil melalui aku Twitternya @cholilnafis, Selasa (29/3/2022).
Ia kemudian menyayangkan ada indikasi bahwa kata madrasah akan diganti dengan nama lain. Ia juga protes karena kata madrasah hanya ada di bab penjelasan pada RUU Sisdiknas itu.
“Kok ya RUU Sisdiknas tak menyebutkan madrasah, apalagi mau ganti nama atau hanya penjelasan saja. Menghilangkan jejak sejarah atau anti istilah Arab itu tak benar,” pungkasnya. [wip]