ISLAMTODAY ID (JAKARTA)— Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Buya Amirsyah Tambunan mendesak Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membatalkan pengesahan pernikahan beda agama. Ia meminta PN Surabaya berhati-hati dalam memeriksa dan memutuskan masalah pernikahan beda agama.
“Ketika memeriksa dan memutuskan sepatutnya Pengadilan Negeri membatalkan pernikahan tersebut,” kata Buya Amirsyah seperti dilansir dari mui.or.id pada 21 Juni 2022.
Ia sangat menyayangkan keputusan hakim PN Surabaya yang melegalkan pernikahan beda agama. Menurutnya pernikahan beda agama sangat bertentangan dengan sejumlah peraturan negara.
“Kedua pasangan berbeda agama dan berbeda keyakinan bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,” ujar Buya Amirsyah.
Pernikahan beda agama di Indonesia bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan dan kemerdekaan memeluk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pasal tersebut menjelaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selain itu, pernikahan beda agama juga melawan konstitusi yang telah dijelaskan pada UUD 1945 Pasal 28 B. Bunyi Pasal 28 B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Dengan perkawinan beda agama maka terjadi pertentangan logika hukum, karena selain beda agama juga berbeda kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang dalam kasus ini harus ditolak atau dibatalkan,” tutur Buya Amirsyah.
Desak KY Tindak Hakim
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak Komisi Yudisial menindak Hakim PN Surabaya. Hal ini dilakukan pasca pengesahan pernikahan beda agama yang dilakukannya pada Senin, (20/6/2022).
“Hakim itu harus diperiksa. MA juga harus turun kalau memang ini kontroversi, termasuk pemerintah, Presiden juga, soalnya (masalah) serius ini,” kata Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI, Prof.Deding Ishak.
Prof. Deding juga mewanti-wanti pemerintah untuk mewaspadai permainan hukum di balik pengesahan pernikahan beda agama. Pemerintah dalam hal ini presiden dan wakil presiden diminta untuk segera turun tangan.
“Presiden dan Wakil Presiden harusnya paham ini, harus memberikan perhatian terkait hal ini. Meskipun ada koridor hukum, tapi ini harus jadi perhatian jangan-jangan ini dimainkan. Jadi, janganlah bermain-main dengan agama dan hukum di Indonesia, tidak benar ini,” ujar Prof. Deding.
Prof. Deding menuturkan, keputusan hakim tersebut bertentangan dan menyimpang secara substansial dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam Undang-undang tersebut, kata Prof. Deding, sudah jelas bahwa sahnya perkawinan adalah harus sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
“Pasal 1 itu jelas ya. Artinya, pelaksanaan perkawinan itu harus sesuai dengan norma, syariat agama, dalam hal ini adalah Islam,” ujarnya.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa tidak ada istilah kawin campuran yang berbeda agama. Ia memberikan contoh, seorang perempuan Muslimah yang menikah dengan ‘bule’ maka dia harus sama agamanya karena harus mengikuti undang-undang.
Dia mengungkapkan, setiap pembuatan undang-undang harus mempunyai tiga landasan. Ketiga landasannya yaitu filosofis, yuridis dan sosiologis.
Ia menerangkan, secara filosofis, bagaimana membangun ikatan perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan yang merupakan sunatullah, apabila berbeda agama dan kepercayaan.
Ia mempertanyakan bagaimana mengurus rumah tangganya dan menilai akan banyak dampak negatifnya.
“Sosiologisnya masyarakat Islam yang memang berpedoman kitabullah, tentu saja syariat Islam itu menjadi pedoman,” sambungnya.
Apalagi, kata Prof Deding, sekarang ini hukum Islam sudah masuk dalam sistem hukum nasional. Seperti Baznas dan Ekonomi Syariah.
“Itu adalah pelaksanaan dari UUD 1945 pasal 1 ayat 1 pasal 29 dan ayat 2 jelas. Pertama, kita negara bebas melaksanakan agama dan kepercayaan,” tutur Prof. Dedeng. (Kukuh)