ITD NEWS— Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengungkapkan hingga hari ini pengelolaan dana desa masih diwarnai oleh permasalahan. Sejumlah permasalahan menjadi tantangan dalam pengelolaan dana desa.
“Kami melihat masih ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan dana desa, khususnya tahun 2022 yang saat ini masih terjadi di Indonesia. Permasalahan-permasalahan ini kami rangkum dari beberapa hasil kunjungan ke dapil kami, “ kata Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Abdul Hakim dalam sambutannya pada forum Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka Pengawasan atas Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2021 tentang APBN Tahun Anggaran 2022 yang diadakan oleh Komite IV DPD RI, di Solo pada Senin (19/9).
Beberapa masalah tersebut antara lain, pertama sanksi pemotongan Dana Desa apabila tidak menyalurkan BLT sebesar 50%.
“Ketentuan ini sangat memberatkan pemerintah desa, kebijakan sanksi ini telah memangkas hak-hak desa, khususnya bagi desa yang masyarakatnya cukup mapan dan tidak memerlukan banyak BLT kedua alokasi dana desa paling sedikit 40 persen untuk BLT,” tegas Abdul Hakim.
Permasalahan ketiga adanya tumpang tindih peraturan yang mengatur tentang pengelolaan Dana Desa dan keempat perencanaan pembangunan desa yang masih sering ditemui.
Fakta tersebut disampaikan langsung oleh Asisten II Sekda Boyolali Insan Adi Asmono. Ia mengatakan otonomi dana desa tahun 2022, kadarnya masih kurang dari 50 persen.
“Sejatinya, desa hanya punya otonomi dana desa sebesar 32 persen yang benar-benar bisa dikelola oleh desa karena tidak ada cantolan dari pemerintah pusat seperti ketentuan 40% BLT,” jelas Insan,
Terkait pengelolaan dana desa untuk BLT ataupun penyaluran BLT lain, Insan yang pernah menjabat sebagai inspektorat di Kabupaten Boyolali mengungkapkan skema penyalurannya harus noncash.
“Penyaluran dana bantuan dengan transaksi cash banyak menimbulkan masalah. Dengan noncash, problem tersebut bisa dikurangi,” ungkap Isnan.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Sukoharjo, Widodo mengungkapkan di desa, rata-rata masih mengandalkan dana transfer, baik dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi.
“Selama ini pendapatan asli desa di Sukoharjo rata-rata berkisar 15% yang berasal dari lelang tanah bengkok desa” ungkap. Widodo.
Kepala BPKP Jawa Tengah, Tri Handoyo mengungkapkan temuannya berdasarkan hasil analisa permasalahan pengelolaan dana desa. Beberapa temuan permasalahan umum yang menghinggapi pengelolaan dana desa.
Permasalahan tersebut antara lain keterbatasan sumber daya pengawasan SDM dan Anggaran.
“Jumlah desa sebanyak 74.962 memiliki SDM dengan kondisi yang bervariasi (Kualitas dan Kuantitas),” ungkap Handoyo.
Permasalahan berikutnya adalah pengawasan dana desa belum kolaboratif. “Pengawasan Inspektorat Kab/Kota, BPD, Camat, Masyarakat, Itjen K/L: Kemendagri, Kemendes PDTT, BPKP, dan KPK-RI belum bersifat kolaboratif,” jelasnya.
Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah anggota Komite IV DPD RI. Selain itu, FGD juga dihadiri oleh Tri Handoyo, Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Jawa Tengah, Taukhid Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala KANWIL DJPb Provinsi Jawa Tengah, Widodo Sekda Kabupaten Sukoharjo, dan Mulyanto, Akademisi FEB UNS. (Kukuh)