ITD NEWS (SOLO)— Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar meminta agar tak memandang remeh berbagai skenario penundaan pemilu yang terus dipaksakan. Sinyal-sinyal gangguan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 harus segera diantisipasi yang biasanya berawal dari adanya tuntutan perubahan konstitusi.
“Bagi saya yang paling penting adalah ketigaperiodean ini harus (diwaspadai) karena ini bukan gerakan sederhana. Gerakan ini banyak di berbagai negara walaupun rata-rata dengan mengubah konstitusi seperti di Rusia, Turki (dan) China,” kata Zainal dalam pernyataanya di Channel Youtube, Refly Harun pada Senin, 30 Januari 2023.
Ia mengungkapkan potensi adanya gangguan serius terhadap pemilu ini setelah berbincang-bincang dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof. Mahfud MD pada 1 Januari 2023 lalu.
“Saya iseng nanya, Pak Mahfud mau nyalon nggak untuk capres (2024)?, Jawaban dia menurut saya sangat mengagetkan, ‘Mas terus terang saya belum kepikiran banget, belum kepikiran apa-apa soal capres. Karena saya lebih pikirkan pemilunya ada apa nggak sih?,” kata Zainal.
“Itu saya kaget, seorang Menko Polhukam loh, lalu saya tanya balik emang masih ada pak? Dia (Prof. Mahfud) masih ada dan serius,” terangnya.
Ia pun memaparkan tentang peta gerakan yang berpotensi mengganggu jalannya Pemilu 2024. Pertama adanya tindakan curang yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Coba dibayangkan kalau teman-teman lihat dengar rekamannya dan saksikan langsung temuan temen-temen masyarakat sipil atas laporan orang-orang KPU yang dipaksa meloloskan partai tertentu itu miris sekali,” ungkap Zainal.
Ia memberikan kritik keras terhadap KPU yang seharusnya berperan sebagai wasit dalam perhelatan Pemilu 2024. Sebuah kompetisi pertandingan tidak akan adil jika KPU bertindak curang sehingga layak untuk diganti.
“Mau tidak mau kita harus keras-kerasan untuk mengatakan ganti KPU, harus menurut saya ganti nggak bisa bahaya, ini baru titik awal loh sudah main curang,” ucap Zainal.
“Ini harus kita desakan karena DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) agak lamban, kita harus dorong terus,” tegasnya.
Poin kedua yang harus diwaspadai oleh semua pihak adalah wacana penundaan pemilu dengan alasan tidak ada uang. Hal ini menurutnya sebuah masalah yang masih bisa diselesaikan, namun tidak dengan gangguan terhadap KPU.
“Ini saya kira sebenarnya relatif mudah untuk diselesaikan, yang saya khawatirkan bukan soal tidak ada uangnya, tapi soal menganggu KPUnya itu tadi dan merusak kepemiluannya,” ujar Zainal.
Poin ketiga ialah wacana penundaan pemilu dan berbagai gerakannya tidak bisa dipandang remeh. Isu ketigaperiodean telah terjadi di sejumlah negara baik di Afrika, Eropa dan Asia itu sering kali berakhir tidak baik-baik saja.
“Jadi gerakan ketigaperiodean dengan berbagai alasan, satu contoh yang paling terakhir kalau tidak salah negara di Afrika mendeklarasikan menjadi 3 periode, menunda pemilu dengan berbagai alasan dan akhirnya diujungnya adalah diserbut tentara lalu kemudian diambil alih tentara,” tutur Zainal.
Ia mengingatkan agar situasi ini menjadi perhatian serius, sebab berbagai situasi mungkin saja bisa terjadi Indonesia.
“Saya nggak tau skenario itu (bisa terjadi di Indonesia atau tidak) tapi skenario itu sangat mungkin apalagi saya kira, tentara dan polisi berada dalam posisi yang tidak terlalu mesra,” ungkap Zainal.
Zainal juga menegaskan adanya ‘tren kedaruratan’ yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir seperti lahirnya UU Ormas dan Perppu Cipta Kerja. Munculnya ‘tren kedaruratan’ di tengah pelanggaran demokrasi harus diwaspadai.
“Yang saya harus ingatkan dan ini berkaitan dengan kebiasaan negara Indonesia belakangan yaitu menggunakan ‘kedaruratan’,” tegas Zainal. (Kukuh)