(IslamToday ID) – Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pelaksanaan sistem proporsional terbuka dalam pemilu yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, itu bertentangan dengan UUD 1945.
Hal itu ia katakan saat membacakan argumentasi yuridis dalam sidang lanjutan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal ini terdaftar sebagai pihak terkait dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu.
“Menyangkut penerapan sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945 karena melemahkan, mereduksi fungsi partai politik, melemahkan kualitas pemilih dan menurunkan kualitas pemilu,” kata Yusril di Gedung MK, Rabu (8/3/2023).
Yusril mengungkap beberapa pasal dalam UU Pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945. Di antaranya, Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf d, Pasal 386 ayat (2) huruf d, Pasal 420 huruf c dan d , Pasal 422 dan Pasal 426.
Lanjutnya, Dia menyebut, partai politik (parpol) merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara demokrasi. Namun, dengan adanya sistem tersebut, peran parpol malah terkesan dipinggirkan.
“Eksistensi peran sentral dari parpol menjadi ciri dari negara modern yang kuat. Pentingnya posisi parpol sebagai wadah untuk mengisi keberlajutan roda pemerintahan. Parpol sudah menjadi ciri dari negara hukum sekarang ini. Melalui partai politik masyarakat menyampaikan gagasan dan perubahan,” ujarnya.
Menurut dia, sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan memisahkan jarak pemilih antara pemilih dan kandidat wakil rakyat, malah melemahkan partai politik.
“Parpol tidak lagi fokus mengejar fungsi sebagai sarana penyalur, pendidikan, partisipasi politik yang benar. Parpol tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas programnya yang mencerminkan ideologi partai, melainkan sekadar fokus mencari kandidat suara terbanyak. Di sini letak pelemahan partai politik terjadi secara struktural,” ujarnya.
“Partai tidak lagi fokus membina kader-kader muda secara serius untuk kepentingan jangka panjang ideologi partai, melainkan mencari jalan pintas mencari calon populer dan figur terkenal yang nyatanya belum tentu bisa bekerja dengan baik,” sambungnya.
Usai memberi keterangan, Yusril menyebut perlu ada penguatan agar partai politik yang dipilih dalam setiap pemilu. Ia ingin sistem proporsional tertutup atau coblos partai diterapkan lagi.
“Asumsinya kan masyarakat itu majemuk, orang tuh punya pemikiran yang berbeda. Orang yang sama pikirannya silahkan bersatu membentuk partai politik. Partainya itulah yang akan ikut dalam Pemilu,” paparnya.
Meski demikian, Yusril mengatakan tidak ada sistem yang lebih baik dari pada sistem yang lain. Oleh sebab itu, ia mendorong sistem yang dipilih dan dijalankan harus dievaluasi.
“Setelah sistem kita pilih, kita evaluasi. di mana kelemahannya untuk kita perbaiki. Kita hidup dalam sebuah negara dan tidak dapat semata-mata melegitimasi apa yang menjadi keinginan kita,” ucapnya.
Menurutnya, pedoman konstitusi juga perlu dipertanyakan, khususnya terkait penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilu. Ia lantas mengasumsikan pedoman itu seperti di dalam agama.
“Agama itu ada kitab sucinya, bukan kita maunya apa terus kita legitimasi dengan ayat-ayat kitab suci. Akan tetapi, kitab suci itu yang jadi pedoman perilaku kita,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yusril mengingatkan peserta pemilu untuk DPR dan DPRD adalah partai politik sebagaiman tertuang dalam UUD 1945. Untuk mencalonkan diri perorangan bisa melalui DPD.
“Peserta pemilu DPR dan DPRD itu memang partai, bukan orang perorangan. Perorangan ada tempatnya sendiri di DPD,” tuturnya.
Sebagai informasi, bergulirnya isu sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK.
Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (26/1/2023) lalu, Pemerintah menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka merupakan mekanisme terbaik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.
Hal ini disampaikan Dirjen Politik dan PUM Kemendagri Bahtiar yang mewakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menkumham Yasonna Laoly sekaligus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Pleno Pengujian Materil Undang-Undang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi.
Sementara Anggota DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyatakan pihaknya mendukung penerapan sistem proporsional tertutup.
“Fraksi Partai Demokrasi Indonesia lebih memilih sistem proporsional tertutup. Sikap ini berbeda dengan sikap 8 fraksi partai di DPR RI,” kata Arteria Dahlan di hadapan Hakim MK.
Sementara Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Golkar, Supriansa membacakan pandangan 8 Fraksi partai politik di DPR RI, yang menolak penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu.
“Kami menolak sistem proporsional tertutup. Sistem Proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi kita,” kata Supriansa di hadapan Hakim Konstitusi.
Supriansa menjelaskan sejumlah argumentasi lain, di antaranya bahwa sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak era reformasi ini sudah tepat dilakukan. Sehingga ia berharap Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan sistem ini di Pemilu 2024 mendatang.