(IslamToday ID) – Kritik ekonom senior Faisal Basri terhadap Presiden Jokowi soal hilirisasi nikel untungkan China dijawab Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto.
Seto curiga Faisal mengkritik kebijakan itu karena tak update dengan perkembangan hilirisasi di Indonesia. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari data ekspor besi dan baja (kode HS72) yang digunakan Faisal untuk mengkritik hilirisasi nikel pemerintahan Jokowi.
“Dari analisis yang dilakukan, terlihat bagaimana Pak Faisal Basri kurang update dengan perkembangan hilirisasi yang terjadi di Indonesia. Hilirisasi nikel di Indonesia sudah tidak hanya besi dan baja (kode HS72), tetapi sudah mulai bergerak ke material untuk baterai lithium, yakni nickel matte dan MHP (keduanya kode HS75),” kata Seto dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (12/8/2023).
Ia menambahkan berkenaan dengan hasil hilirisasi itu, pada 2022 ekspor nickel matte mencapai 3,8 miliar dolar AS, naik dari tahun sebelumnya yang baru 1 miliar dolar AS. Sementara itu ekspor MHP mencapai 2,1 miliar dolar AS pada 2022, naik dari 2021 yang baru mencapai 0,3 miliar dolar AS.
“Selain kode HS75 dan HS72, beberapa produk di kode HS73 juga merupakan produk turunan nikel,” katanya.
Sementara, Presiden Jokowi menanggapi enteng kritik dari Faisal Basri. Ia tetap percaya diri hilirisasi yang dilakukan terhadap nikel memberikan banyak manfaat ke ekonomi Indonesia.
“Hitungan dia bagaimana? Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp 510 triliun,” katanya.
Jokowi menambahkan, dari angka itu saja jelas negara bisa mendapatkan pajak yang lebih besar dari hilirisasi nikel yang dilakukan.
“Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari Rp 17 triliun sama yang dari Rp 510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp 17 triliun sama Rp 510 triliun besar mana?” pungkasnya. [wip]