(IslamToday ID) – Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menyoroti tindakan aparat di kasus Rempang, Batam yang cenderung represif. Ia mengatakan tugas aparat Indonesia kini telah berubah, dari melindungi masyarakat menjadi tukang gebuk demi kepentingan konglomerat.
“Celakanya pihak aparat yang tugasnya sebenarnya adalah melindungi rakyat, sekarang mereka malah berubah fungsi, menjadi menggebuki dan memukuli rakyat,” kata Anwar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (16/9/2023).
Berubahnya fungsi aparat ini juga disokong oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat negara dalam “menyejahterakan masyarakat”. Jika ditelusuri lebih jauh, Anwar tak membantah bahwa masyarakat Indonesia memang hidup sejahtera, tapi itu hanya berlaku untuk beberapa pihak saja.
Kesejahteraan yang tidak merata ini terbentuk karena kebijakan yang dibuat pemerintah memang lebih banyak membela dan melindungi usaha-usaha besar. Sementara masyarakat kecil harus terseok-seok. Entah tergusur atau mendapat perlakukan hukum yang tidak adil.
“Karena yang dikejar oleh pemerintah tampaknya adalah pertumbuhan ekonomi dan kurang kepada dimensi pemerataannya, sehingga akibatnya kita lihat rakyat marah seperti yang terlihat dan terjadi sekarang ini di Pulau Rempang, Kepulauan Riau,” katanya dikutip dari CNN Indonesia.
Anwar menyebut jika selama ini pemerintah memang konsisten dengan amanat yang terdapat dalam konstutusi UUD 1945, kebijakan yang dibuat pasti akan merata. Bukan hanya masalah ekonomi yang dikejar, tapi kesejahteraan semua lapisan masyarakatnya juga berusaha dipenuhi. “Sehingga kesenjangan sosial ekonomi masyarakat kita tidak semakin tajam dan terjal,” katanya.
Seperti diberitakan, persoalan di Pulau Rempang terus memanas. Pada Kamis (7/9/2023) lalu warga Rempang bentrok dengan aparat gabungan TNI-Polri. Peristiwa ini terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco-City.
Warga yang sudah puluhan tahun tinggal di Rempang memang berdampak besar dalam pembangunan itu. Banyak warga yang harus direlokasi demi pengembangan proyek tersebut.
Sebagai kompensasi, pemerintah disebut telah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi. Namun warga bersikukuh menolak proyek tersebut.
Warga di Pulau Rempang mengaku tak bisa melepas lahan yang telah ditinggali nenek moyang mereka sejak 1834. Mereka menolak melepas kampung yang memang sudah eksis sejak satu abad lebih itu. [wip]