(IslamToday ID) – Akademisi yang juga pengamat politik Rocky Gerung mengkritik keras maraknya baliho dan spanduk bergambar keluarga Jokowi di seluruh pelosok Indonesia. Ia menilai model kampanye tersebut sangatlah norak dan mengotori jalanan, serta meresahkan masyarakat.
Rocky menjelaskan bahwa sekarang sudah masuk eranya digital dan teknologi berkembang dengan sangat cepat. Menurutnya, milenial sangat identik dengan internet atau digital society.
“Masyarakat memiliki hak untuk saling terhubung melalui teknologi dan komunikasi, sehingga dapat membagikan informasi dari jarak jauh. Hal tersebut berkebalikan dengan kampanye yang dilakukan oleh keluarga Jokowi,” kata Rocky dikutip dari laman YouTubenya, Senin (20/11/2023).
“Era digital tapi masih pasang poster secara real di jalan-jalan, pasang baliho. Anda bayangkan seluruh rakyat Indonesia 200 juta (orang), handphonenya hampir 300 juta, jadi satu orang Indonesia ada yang punya 2,5 handphone,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Rocky menjelaskan baliho-baliho yang terpampang wajah keluarga Jokowi seperti Gibran Rakabuming Raka ataupun Kaesang Pangarep merupakan cara norak di era yang sudah serba digital.
“Disiapkan oleh teknologi cara kampanye digital (itu), ucapkan lewat platform sosial media, tapi yang ada adalah baliho-baliho Gibran, Jokowi, Kaeseng. Norak betul, ngotorin jalan itu,” ungkapnya.
Menurut Rocky, kampanye konvensional tersebut juga membuat masyarakat resah dengan adanya patok-patok spanduk yang berada di pinggir jalan. Ia menggambarkan bahwa seorang kepala desa lulusan SD di lereng Gunung Pangrango ketakutan apabila mempertanyakan kegiatan aparat yang tidak wajar.
Sang kepala desa tersebut mengaku takut dijerat dengan UU ITE jika menggunakan haknya menanyakan kegiatan tersebut melalui media sosial.
“Kemarin ada orang pasang patok. Apabila saya foto dan unggah di sosial media untuk mempertanyakan itu patok apa, apakah saya kena UU ITE?” ungkap Rocky menirukan sang kepala desa.
Pertanyaan tersebut menurut Rocky mengindikasikan bahwa UU ITE secara tidak langsung menjadi tanda hilangnya kebebasan warga sipil untuk berbicara.
“Civil liberties artinya hak warga negara untuk mempergunakan haknya, tapi terhalang oleh regulasi yang dibuat oleh negara. Kan konyol, negara melarang warga negara,” pungkasnya.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan pengalamannya yang diharuskan untuk meminta maaf atas kritikannya terkait sebuah kebijakan.
“Saya mesti minta maaf. Kalau saya tidak minta maaf saya akan dihukum seumur hidup tidak boleh bicara di semua platform sosial. Gak boleh kasih kuliah, gak boleh kasih ceramah. Itu hak yang melekat pada saya untuk bicara dan memilih diksi itu,” ujarnya menceritakan pengalamannya. [res]