(IslamToday ID) – Analis senior Ikrar Nusa Bakti mengatakan tindakan Presiden Jokowi yang terkesan negatif di akhir masa jabatannya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk dikenang sebagai presiden yang paling berkuasa.
“Dia ingin dilihat oleh seluruh warga negara Indonesia bahwa dia adalah Presiden Indonesia yang paling berkuasa dalam sejarah Indonesia. Makanya kemudian dia ingin menunjukkan bahwa ‘semua tunduk sama saya’,” kata Ikrar dikutip dari YouTube Abrahan Samad Speak Up, Rabu (31/1/2024).
Upaya ini, lanjutnya, sudah dipersiapkan oleh Jokowi sejak lima tahun belakangan dengan tujuan agar tidak ada partai oposisi.
“Jangan kaget kalau ini memang sudah dipersiapkan sejak 2019 supaya tidak ada partai oposisi. Itu politik akomodasi terhadap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno supaya meniadakan oposisi. Walaupun kalau kita lihat dari sisi lain meniadakan oposisi,” terangnya.
“Padahal 85 persen kekuatan parlemen berada di pihak dia (Jokowi). Yang tidak berada di pihak dia kan cuma PKS dan Partai Demokrat. Dua partai ini tidak bisa bergerak karena dua oposisi ini bisa dikatakan kecil kekuatannya,” lanjutnya.
Pendekatan Jokowi dengan memilih Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) tidak berhenti dalam satu periode, karena Jokowi juga memilih Prabowo sebagai orang yang akan dia andalkan untuk menerima Gibran sebagai calon wakil presiden.
“Rupanya dia (Jokowi) juga akan melihat Prabowo pasti adalah orang yang bisa dia pakai untuk bisa menerima suatu saat anaknya menjadi calon presiden, dititipkan kepada Prabowo,” ungkapnya.
Jadi apabila selama ini Prabowo selalu mengatakan bahwa memilih Gibran merupakan inisiatif dan keinginannya pribadi, itu omong kosong.
“Ada kaki-kaki politik di bawahnya (Jokowi) untuk menerima Gibran kalau lolos dari MK ini dijadikan calon wakil presidennya Prabowo,” ucapnya.
Tidak hanya itu, Ikrar juga membongkar bahwa pembajakan PSI oleh Jokowi juga sudah direncanakan sejak 2019 silam.
“Di satu sisi banyak yang mengatakan strateginya Jokowi hebat, bagaimana dia juga membajak PSI, partai anak muda. Itu prosesnya dari 2019. Bukan main. Dan perlu diingat Gibran 2019 belum jadi walikota Solo. Dan dia jadi walikota dengan rekayasa politik juga,” ujarnya. [ran]