(IslamToday ID) – Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto mengatakan gerakan moral yang dilakukan civitas akademika UI merupakan gerakan untuk demokrasi Indonesia yang sedang mengalami penurunan dan membahayakan.
“Sebagaimana kita melihat sejak pemerintahan babak kedua ini ada situasi di mana kekuasaan didefinisikan melalui rumusan hukum. Jadi hukum digunakan untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan,” kata Sulistyowati dikutip dari YouTube Metro TV, Sabtu (3/2/2024).
Revisi terhadap hukum tersebut, lanjutnya, dimulai dari revisi UU KPK, munculnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, terakhir soal Putusan MK No 80 Tahun 2023.
“Ini menunjukkan bahwa sekarang kita sudah menjadi negara kekuasaan. Oleh karena itu kami harus bersuara,” ucapnya.
Yang menjadi kekhawatiran saat ini adalah bagaimana sikap publik terhadap Pemilu 2024 mendatang yang tidak mendapatkan kepercayaan.
“Apabila setelah pemilu hasilnya itu tidak mendapatkan legitimasi publik, maka kemungkinan akan bisa diatasi dengan cara-cara otoriter. Kami takut itu menjadi kenyataan karena arahnya sudah ke sana,” tuturnya.
Sulistyowati lantas merespons tanggapan yang diberikan Presiden Jokowi terhadap petisi yang disuarakan oleh tujuh universitas di Indonesia. Menurutnya, yang ditunjukkan sangat normatif.
“Sebetulnya yang diharapkan lebih dari itu. Seharusnya menjadi otokritik bagi diri sendiri. Saya kira sebentar lagi akan ada lebih banyak kampus yang bersuara,” katanya.
Meski tak dipungkiri Sulistyowati bahwa saat ini banyak tekanan politik yang diterima oleh pihak kampus yang menjadikannya tidak dapat bebas dalam bersuara.
“Di perguruan tinggi negeri itu kami memang sungguhpun statusnya otonomi, PTNBH, tapi banyak sekali intervensi dari pemerintah berupa kebijakan pengaturan-pengaturan yang sangat memberatkan dosen limitasi. Disibukkan dengan persoalan administratif birokrasi,” paparnya.
Demikian pula intervensi yang dilakukan pemerintah dalam lingkungan kampus juga dinilai sangat besar. Terbukti dengan pemilihan rektor yang banyak didominasi oleh pemerintah. “Politik akademik di mana rektor itu 35 persen suaranya ditentukan oleh pemerintah melalui Menteri Pendidikan,” ucapnya. [ran]