(IslamToday ID)— Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII yang di antaranya membidangi urusan Agama, Hidayat Nur Wahid, mengkritik rencana Menteri Agama menjadikan pencatatan nikah seluruh agama terpusat di Kantor Urusan Agama (KUA). Ia meminta Menag membatalkan rencana menjadikan KUA sebagai pencatatan nikah semua agama, seharusnya peran KUA lebih dikuatkan.
“Lebih maslahat bila Menag membatalkan niatnya menjadikan KUA juga sebagai tempat pencatatan nikah semua Agama, dan lebih banyak maslahatnya bila Menag menguatkan peran dan fungsi dari KUA untuk menjadi bagian dari solusi masalah penyimpangan dari ajaran Agama Islam yang terjadi di masyarakat,” kata HNW dalam keterangan tertuslisnya kepada media pada Senin (26/2/2024).
HNW menilai rencana tersebut tidak sesuai dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia dan amanat UUD NRI 1945. Ia khawatir jika wacana tersebut bisa menimbulkan masalah sosial dan psikologis di kalangan nonmuslim, dan bisa menimbulkan inefisiensi prosedural. Sejak era kemerdekaan telah disepakati bersama bahwa seorang muslim mencatatkan di KUA sementara nonmuslim di kantor catatan sipil.
“Pengaturan pembagian pencatatan nikah yang berlaku sejak Indonesia merdeka yakni Muslim di KUA dan non Muslim di Pencatatan Sipil selain mempertimbangkan toleransi juga sudah berjalan baik, tanpa masalah dan penolakan yang berarti,” tutur HNW.
“Maka usulan Menag itu jadi ahistoris dan bisa memicu disharmoni ketika pihak calon pengantin nonmuslim diharuskan pencatatan nikahnya di KUA yang identik dengan Islam,” imbuhnya.
Ia mengingatkan kembali sejarah pembagian pencatatan pernikahan di Indonesia termasuk untuk membahasnya terlebih dahulu dengan Komisi VIII DPR RI. Hal ini penting agar kebijakan para pejabat dalam hal ini Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tidak melampaui batas atau offside.
“Faktor sejarah terkait pembagian pencatatan pernikahan itu harusnya dirujuk, agar niat baik Menag tidak malah offside atau melampaui batas,” ujar HNW.
“Apalagi soal menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah bagi semua Agama yang berdampak luas dan melibatkan semua umat beragama belum pernah dibahas dengan Komisi VIII DPR-RI. Sementara banyak warga yang kami temui saat reses, merasa resah dan menolak rencana program yang diwacanakan Menag tersebut,” tegasnya.
Secara mendasar, hal itu sesuai ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945 yang jelas mengamanatkan Negara untuk menjamin agar tiap penduduk dapat beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam aplikasinya, pembagian kewenangan pencatatan nikah juga sudah ada jauh sejak lahirnya UU No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, dan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Panjangnya masa berlaku UU Pencatatan Nikah dan Perkawinan menunjukkan bahwa urusan pencatatan pernikahan yang memberikan pengakuan atas kekhasan ajaran Agama terkait pernikahan tersebut berjalan dengan baik, diterima dan lancar, sebagaimana amanat Undang-undang Dasar,” ucap HNW.
“Apalagi Menag dan publik tentunya tau, bahwa KUA selain perpanjangan dari peradilan Agama (Islam) juga merupakan institusi/kantor yang berada di bawah Ditjen Bimas Islam, yang memang tugasnya hanya mengurusi umat Islam saja,” sambungnya.
Penguatan Peran Bimas Islam & KUA
HNW dan Fraksi PKS mendesak agar Menag lebih fokus pada maksimalisasi peran dari Direktorat Jenderal Bina Masyarakat (Ditjen Bimas) Islam khususnya KUA. Sejumlah pembenahan di Bimas Islam terutama terkait KUA, masih banyak yang harus dilakukan seperti kekurangan jumlah penghulu, kepemilikan kantor, hingga revitalisasi bangunan dan layanan.
Selain itu maksimalisasi peran dan fungsi penyuluh keagamaan termasuk yang terkait dengan konsultasi pra nikah. Peningkatan layanan penyuluhan nikah semakin mendesak lantaran maraknya kasus kekerasan dalam rumahtangga.
Pentingnya peran penyuluh agama dan konsultasi pra nikah mendesak dilakukan di tengah tingginya kasus perceraian sebanyak 516.334 kasus sepanjang tahun 2022. Angka tersebut meningkat 15% dari tahun 2021 dan merupakan yang tertinggi selama 6 tahun terakhir.
“Harusnya Menag fokus carikan solusi terhadap masalah yang merupakan ranah Bimas Islam. Bukan justru offside mengarahkan Bimas Islam turut mengurusi agama lain, seperti menjadikan KUA menjadi tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam juga,
“Padahal KUA adalah institusi dibawah Dirjen Bimas Islam, hal yang tidak sejalan dengan aturan tata kelola organisasi Kemenag yang dikeluarkan sendiri oleh Menag,” ujar HNW.
Selain tidak relevan, kebijakan yang diusulkan itu akan semakin memberatkan KUA yang sebagian besarnya mengalami kekurangan SDM dan tidak punya kantor sendiri. Bahkan usulan kebijakan tersebut juga akan memberatkan warga nonmuslim yang akan menikah.
Pasalnya, ujung dari pencatatan nikah adalah di Dinas Capil, yang nantinya terintegrasi dengan NIK dan KTP. Jika mereka harus ke KUA dulu maka akan terjadi prosedur tambahan.
Selain itu, KUA juga identik dengan Umat Islam, sehingga tentu akan menimbulkan beban psikologis serta ideologis bagi nonmuslim jika harus mengurus pernikahan ke KUA.
“Di tengah fenomena banyaknya perzinahan dan kasus penyimpangan seksual lainnya, Pemerintah harusnya memudahkan pernikahan sesuai UU Pernikahan, baik melalui peningkatan layanan, perampingan syarat administratif, pemenuhan hak KUA dsb, bukan justru merubah aturan yang tidak hanya mempersulit kinerja KUA, menambah beban prosedural, tapi juga beban psikologis dan ideologis di tengah masyarakat nonmuslim,” lanjut Hidayat. [khs]