(IslamToday ID) – Analis politik Ikrar Nusa Bakti mengatakan pemberian gelar jenderal kehormatan oleh Presiden Jokowi kepada Prabowo Subianto sebagai impunity atau kebebasan dari hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah dilakukan di masa lalu.
Pemberian gelar ini juga dinilai dapat menimbulkan kericuhan, terlebih bagi pihak-pihak yang memperjuangkan HAM.
“Yang jelas Presiden Jokowi ini membantu meningkatkan pangkat Prabowo menjadi jenderal paling tidak laku, dia hanya bintang tiga sementara Panglima TNI atau Kepala Staf Angkatan Darat bintang empat, tentunya ada posisi yang mungkin tidak seimbang,” kata Ikrar dikutip dari YouTube Liputan6, Sabtu (2/3/2024).
“Tapi kalau kemudian itu menimbulkan satu problem besar apakah ini adalah suatu penghapusan dari hal-hal yang pernah terjadi pada masa lalu, tentunya banyak sekali interpretasi dari teman-teman khususnya dari aktivis pro demokrasi dan aktivis HAM. Seakan-akan ini terjadi impunity terhadap Pak Prabowo,” tuturnya.
Selain menimbulkan kegaduhan publik, Ikrar juga menyebut Jokowi tidak konsisten. Pasalnya, dalam Pemilu 2019 silam dia dengan lantang menyebut tidak terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu, yang dimaksudkan adalah Prabowo.
Tetapi pada Pemilu 2024 dirinya secara terang mendukung Prabowo sebagai presiden bahkan memberikan gelar jenderal kehormatan.
“Buat saya itulah Presiden Jokowi. Dia selalu konsisten dengan ketidakkonsistenan dia. Ketika kampanye berhadapan dengan Pak Prabowo dia ingin menunjukkan bahwa dia lebih leading. Tapi setelah pemilu berakhir, Pak Jokowi juga yang akhirnya menawarkan masuk dalam kabinet dan posisinya sangat terhormat,” ujarnya.
Ikrar lantas mengatakan yang menjadikan persoalan pelanggaran HAM di Indonesia berlarut, lantaran tidak pernah adanya penyelesaian secara tuntas. Sehingga masih terus meninggalkan kenangan buruk di benak masyarakat.
“Memang sayangnya di republik ini persoalan-persoalan pelanggaran HAM masa lalu tidak ada yang yang kemudian diselesaikan melalui pengadilan. Baik itu pengadilan sipil maupun pengadilan militer. Dan penyelesaiannya selalu bersifat ad hoc,” jelasnya.
Sementara pemerintah yang sekarang disebut Ikrar, hanya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan pemberian kompensasi bagi keluarga korban.
“Kelihatannya Pak Jokowi (menyelesaikan masalah bukan) dengan suatu kebijakan untuk menyelesaikan HAM masa lalu, tapi hanya menginformasikan kasus-kasus itu. Dan penyelesaiannya itu bukan melalui suatu pengadilan, tapi melalui misalnya suatu keluarga (korban) itu menerima penggantian semacam sejumlah uang untuk melupakan kasus yang sudah dilakukan,” ujarnya. [ran]