(Islam Today ID)— Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pembentuk undang-undang perlu mengoreksi 4% sebagai ketentuan Parliamentary Threshold (ambang batas parlemen). Bahkan sebelum Pemilu 2029 penetapan angkanya diharapkan bukan lagi 4%, untuk dipergunakan pada pemilu 2029 dengan lebih dulu dilakukan kajian ilmiah dan argumentasi rasional demokratis.
“Putusan MK itu memang bukan menghilangkan sama sekali parliamentary threshold, tetapi agar penetapan angka ambang batas itu menggunakan kajian ilmiah, argumentasi yang rasional dan demokratis. Ini juga seharusnya bukan hanya berlaku terhadap parliamentary threshold yang 4 persen itu, tetapi juga mestinya diberlakukan untuk presidential threshold yang berlaku saat ini yakni 20 persen,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (2/3).
HNW merasa heran dengan putusan MK yang cukup berbeda dari putusan-putusan sebelumnya, dimana MK menyerahkan sepenuhnya terkait dengan angka ambang batas kepada DPR, melalui open legal policy. Kini MK justru mendesak DPR untuk mempertimbangkan koreksi angka 4% parliamentary threshold tersebut.
“Ini tentu juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat. Mengapa MK bisa memiliki pendapat yang berbeda dibanding pakem sebelumnya?.” Ujar HNW.
“Sama seperti ketika MK memutuskan terkait usia pencalonan calon wakil presiden (cawapres) yang berujung kepada sanksi pelanggaran kode etik Ketua MK saat itu, karena keputusan itu dinilai sebagai menghidupkan nepotisme karena menguntungkan putra Presiden yang adalah juga keponakan Ketua MK,” imbuhnya.
Ia menilai sangat wajar bila masyarakat kembali mempertanyakan putusan MK yang di luar ‘pakemnya’ selama ini. Apalagi, lanjutnya, publik juga memahami bahwa pada pemilu 2024, salah satu partai yang terancam tidak lolos parliamentary threshold 4% adalah partai yang kini dipimpin oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo.
HNW pun mengingatkan MK bisa berlaku adil sesuai dengan prinsip konstitusi di Indonesia yang negara hukum, serta menyelamatkan kedaulatan rakyat, agar kualitas demokrasi dan pilpres menjadi lebih baik pada 2029 ke depan. Misalnya dengan MK memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk mengoreksi 20 persen presidential threshold, seperti halnya argumentasi MK terhadap 4% parliamentary threshold.
“Maka seharusnya MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang untuk juga melakukan hal serupa ketika menetapkan presidential threshold, sehingga mengkoreksi presidential threshorld 20 persen sebelum Pemilu/pilpres 2029,” ujarnya.
HNW mengatakan bahwa banyak pihak telah mengajukan permohonan agar presidential threshold 20 % untuk dinyatakan inkonstitusional dan seharusnya diturunkan, termasuk permohonan yang sudah diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah mendasarkan pada kajian ilmiah dan prinsip demokrasi. Apalagi, teori-teori atau rumusan yang digunakan oleh para pemohon dalam perkara parliamentary threshold itu tidak jauh berbeda dengan teori atau rumus yang digunakan PKS dalam permohonannya yang lalu.
“Ketika itu, MK memang tidak mengabulkan permohonan yang diajukan oleh PKS terkait presidential threshold di angka antara 7 persen sampai 9 persen, tetapi dalam pertimbangannya MK mengapresiasi PKS yang telah mempergunakan kajian ilmiah yang rasional, proporsional, demokratis dan implementatif dalam menetapkan hal tersebut,” tutur HNW.
“Hal yang juga diingatkan oleh MK saat memutuskan koreksi terhadap parliamentary threshold 4 persen. Dan itulah seharusnya yang perlu diputuskan oleh MK agar dilakukan oleh DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang ketika menetapkan angka-angka ambang batas parliamentary threshold maupun presidential threshold. Laku konsisten dan adil dari MK itu yang akan menyelamatkan kepercayaan Publik terhadap MK dan putusan-putusannya,” pungkasnya. [khs]