(IslamToday ID) – Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan penyelenggaraan pemilu di Indonesia penuh dengan kecurangan lantaran kecurangan itu dilakukan oleh semua partai politik (parpol). Sementara, sumber dari kekacauan Pemilu 2024 lantaran terpilihnya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto.
“Iya benar itu dan makin kemari semakin ribet karena serentak. Apalagi kalau presidennya periode kedua. Misalkan tahun 2019, Jokowi periode kedua. Siapa bilang waktu itu tidak ada masalah? Banyak sekali sehingga yang meninggal 970-an petugas. Itu cermin ribetnya penyelenggaraan pemilu,” kata Jimly dikutip dari YouTube Deddy Corbuzier, Senin (4/3/2024).
“Jadi sebetulnya sumber masalah ini karena terpilihnya anaknya Pak Jokowi ini sebagai cawapres. Jadi melebar-lebar masalahnya, soal etik, soal dinasti,” lanjutnya.
Mengenai hak angket yang saat ini sedang gencar akan digulirkan oleh para elite politik, Jimly mengaku mendukung meski nantinya bakal berujung pada penggulingan presiden.
“Gak tega saya menghalang-halangi walapun ujung-ujungnya sudah kelihatan, tapi biar saja dipakai dulu. Apakah itu akan ditekan untuk menekan proses hukum (hak angket)? Ya tidak apa-apa. Toh proses hukum di Bawaslu dan MK itu independen,” jelasnya.
Namun, tutur Jimly, apabila hak angket telah digulirkan dan presiden diminta bertanggung jawab karena pemilu ada kecurangan, tetap saja pemilu tidak bisa diulang.
“Tidak bisa, pemilu itu sudah diatur dalam konstitusi. Pelaksanaannya dibuat oleh KPU, Bawaslu yang sebelumnya dikonsultasikan ke PDR dan pemerintah dan sekarang referensi rujukan yang digunakan oleh KPU dan Bawaslu saat ini sudah selesai, final. Tidak boleh diubah lagi sampai pertandingan (pemilu) berikutnya,” ujarnya.
Intinya mengapa pemilu tidak bisa diulang lantaran sudah ada aturannya. Permasalahannya saat ini tinggal siapa yang menang dan kalah, untuk menyelesaikannya itu dapat dilakukan melalui MK. Sehingga, kata Jimly, hak angket tidak bisa mendikte apa yang akan berlaku di MK.
“Yang akan diperiksa (dalam hak angket) ada dua kemungkinan, DPR memanggil pejabat pemerintah atau memanggil penyelenggara pemilu,” pungkasnya. [ran]