(IslamToday.id) — Pendudukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 mengakibatkan adanya eksodus pedagang Melayu ke pelabuhan lain salah satunya adalah Makassar. Dengan perkembangan pelabuhan Makasar, maka di daerah tersebut mulai banyak mengalir barang-barang dagangan selain rempah-rempah utama dimana daerah-daerah penghasil komoditas tersebut telah dikuasai dan dimonopoli oleh bangsa barat. Beberapa komoditas yang mulai ramai diperdagangkan adalah kain sutera, keramik dan bahan-bahan pakaian seperti benang dan kain wool yang berasal dari China melalui Siam.
Faktor internal Sulawesi yang telah terintegrasikan di bawah hegemoni Kerajaan Gowa-Tallo ternyata cukup mendatangkan ancaman bagi monopoli dagang VOC dan para penguasa daerah penghasil rempah-rempah. Hal ini dikarenakan posisi Makassar sebagai pelabuhan transito bagi arus perdagangan jalur rempah nusantara yang membentang dari Malaka hingga wilayah Ambon dan Banda merupakan faktor krusial dari politik monopoli VOC. Terlebih lagi, pungutan bea cukai sebesar 10% kepada para pedagang membuat VOC begitu bernafsu untuk menekan perkembangan Makassar.
Sejak awal Abad 12 M, tepatnya diantara tahun 1600an Sultan Alaudin kemudian diikuti dengan Karaeng Matoaya memeluk agama Islam dan mengubah struktur pemerintahan menjadi sebuah Kesultanan, Kerajaan Gowa mulai melakukan politik ekspansi untuk semakin menyebarkan Agama Islam ke seluruh wilayah-wilayah yang ada disekitarnya. Dengan kuatnya tentara Makassar, maka dengan tidak terlalu lama, Kerajaan Goa mampu manaklukkan hampir seluruh kawasan Sulawesi Selatan, tercatat dalam kurun waktu ±10 tahun, wilayah seperti Sidenreng, Soppeng, Wajo dan Bone mampu dikuasai.
Selain pasukan darat, kekuatan armada laut Kesultanan Gowa juga sangat diperhitungkan, tercatat Makasar pernah memberikan bantuan militernya terhadap Sultan Mindanao dan Sulu dalam perlawanan mereka terhadap ekspansi Spanyol. Sementara itu, armada laut Makasar juga rutin diterjunkan di wilayah-wilayah laut Timur Indonesia seperti Buton, Solor, Sumbawa, Ende dan Bima.
Sebagai bentuk ikatan antara daerah-daerah yang memiliki kesamaan visi dalam agama maupun perdagangan, Kesultanan Gowa sebagai penguasa wilayah Makassar juga memilki hubungan diplomasi dengan beberapa kerajaan Islam lain, seperti Banjarmsin, Banten, Aceh dan Mataram. Hubungan tersebut biasanya diperkuat dengan hubungan pernikahan antar pejabat atau penguasa lokal, seperti adanya perkawinan raja Goa dengan seorang putri Sunan Mataram. Selain menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan di wilayah Nusantara, untuk menambah kewibawaan mereka dalam diplomasi internasional, Makassar juga menjalin hubungan langung dengan Kesultanan Utsmaniyah di Turki dan Mughal India. Selanjutnya sistem perdagangan di Makassar menganut sistem perdagangan terbuka, tidak monopoli, dan memberikan kesempatan berdagang bahan kepada bangsa Eropa seperti Portugis, Prancis dan Belanda.
Pertumbuhan perdagangan Internasional yang sangat pesat tersebut, memungkinkan adanya pembangunan yang besar di wilayah Kesultanan Gowa. Angkatan dagang dan kapal perang terus diperkuat. Di wilayah pelabuhan dibangun pula galangan-galangan kapal untuk kebutuhan singgah para pedagang untuk memperbaiki kapal.
Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 mendeskripsikan bahwa kapal yang dikirim pada sejumlah espedisi tercatat pada tahun 1641 sebanyak 36 kapal yang beroperasi di sekitar perairan Maluku, Seram dan Ambon. Pada tahun 1653 angkatan laut VOC juga tercatat bentrok dengan 19 kapal Makassar. Sedangkan di wilayah Butung ada 600 kapal, dan pernah dikerahkan untuk melawan VOC sebanyak 450 kapal walaupun ada 250 kapal yang sempat berhasil ditawan pada tahun 1666.
Tidak hanya armada laut, di darat pembangunan juga banyak dilakukan, dari penggalian saluran-saluran air, pembangunan benteng yang membentang sepanjang pantai seperti Benteng Tallo, Ujung Tana, Baro’-baso, Mariso, Sombaopu, Garasi, Pa’ Nakkukang dan Barombong. Di sisi lain, Industri pembuatan senjata api juga turut dibangun dan dikembangkan terutama senapan dan meriam. Sedangkan, untuk memenuhi kebutuhan alat tukar perdagangan, dibuat pula mata uang logam.
Pada masa kejayaan Makassar di abad 17 M kehidupan utama digerakkan dan dijalankan sesuai dengan ajaran agama, terdapat penghayatan kesenian dan kebudayaan yang didasari dengan falsafah Islam. Sedangkan, untuk memperkuat sumber daya manusia, diadakan pula banyak pendidikan pendidikan Islam, keterampilan membuat kerajinan, keterampilan membuat dan menggunakan senjata hingga pelatihan berperang. Pada masa kejayaan inilah dikenal Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingaloang yang mampu memberikan teladan besar bagi kemajuan peradaban di wilayah tersebut. Selain sebagai ulama, Karaeng Pattingaloang juga ahli dalam ilmu matematika, navigasi dan kartografi, ia juga dikenal sebagai ahli bahasa dengan sedikitnya menguasai dan fasih berbicara dalam bahasa Portugis, Spanyol, Latin, Inggris, Prancis dan bahasa Arab.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza