ISLAMTODAY ID—Kesultanan Siak Sri Indrapura merupakan kesultanan Islam abad ke-18 M yang berkuasa di kawasan Selat Malaka. Siak menjadi kesultanan Islam yang sangat keras perlawanannya terhadap Belanda.
Kesultanan Siak merupakan salah satu penguasa maritim terkuat dan diperhitungkan di pesisir Timur Sumatera dan Semenanjung Malaya, terutama setelah melemahnya Kesultanan Johor.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura terbentang dari Tamiang (Aceh) hingga ke Sambas (Kalimantan Barat). Kesultanan Siak terdapat di tiga aliran sungai yang menjadi urat nadi Selat Malaka, yakni Sungai Siak, Kampar dan Kuantan.
Khusus sungai Siak memiliki karakteristik yang istimewa, bisa dilalui kapal besar hingga ke tengah Pulau Sumatera, memiliki arus sungai yang tenang, terdapat jalur darat yang bisa menghubungkan ke sungai-sungai lainnya seperti Rokan, Kampar dan Indragiri.
Berbagai hasil alam selain timah dan emas yang dihasilkan oleh Kesultanan Siak adalah lada (Pulau Bintan), Kopra terbesar se-Asia Tenggara (Pulau Midai), ikan (Bagan Siapi-api). Pada tahun 1930-an Kuantan, Inderagiri dan Kampar merupakan daerah perkebunan karet yang potensial.
Kesultanan Siak terdapat di tiga aliran sungai yang menjadi urat nadi Selat Malaka, yakni Sungai Siak, Kampar dan Kuantan. Khusus sungai Siak memiliki karakteristik yang istimewa, bisa dilalui kapal besar hingga ke tengah Pulau Sumatera, memiliki arus sungai yang tenang, terdapat jalur darat yang bisa menghubungkan ke sungai-sungai lainnya seperti Rokan, Kampar dan Indragiri.
Kesultanan Siak Sri Indrapura awalnya merupakan bagian dari sebuah Kesultanan Johor-Riau. Persahabatan ini putus sejak Kesultanan Johor ‘semakin dekat’ dengan kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Kesultanan Johor mengijinkan VOC berdagang di Malaka dengan timbal balik membantu mengusir Portugis. Padahal, bantuan yang diberikan VOC hanya siasat menguasai Selat Malaka.
Anti Penindasan VOC
Tahun 1689 M, perjanjian kerjasama Kesultanan Johor dan VOC membuat Kesultanan Siak meradang. Sebab, VOC diberi kebebasan untuk berlayar di wilayah Siak. Kondisi ini memantapkan Sultan Kecil atau Raja Kecik atau Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah untuk melepaskan diri dari Johor dan membentuk kerajaan baru Siak Sri Indrapura.
Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah berkuasa selama 23 tahun (1723-1746), meski sangat benci pada VOC, hingga wafat dan belum sempat melawan kongsi dagang Belanda itu.
Serangan Kesultanan Siak terhadap VOC baru terjadi pada masa Sultan Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah (1746-1765). Ia berhasil memukul mundur pasukan VOC dalam Perang Guntung yang berlangsung pada tahun 1760 M. Keberhasilan Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah inilah yang kemudian memicu dendam VOC.
Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah wafat tahun 1765. Ia berpesan kepada puteranya, Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah untuk tidak melakukan kerjasama dengan VOC.
“Sebelum meninggal ayahnya berwasiat agar tidak mengadakan kerjasama dengan Belanda (VOC),” tulis Nurhabsyah dari Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara dalam Kerajaan Siak Sri Indrapura Menurut Pendekatan Pendidikan Sejarah.
Kesultanan Siak dalam riwayat sejarahnya memiliki 12 orang sultan, Sultan terakhirnya bernama Sultan Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1946). Ia sangat fokus pada upaya peningkatan pendidikan sebagai ujung tombak perjuangan menentang penjajahan kolonial Belanda.
Pada masa perang revolusi kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Siak turut serta membantu pemerintah pusat. Untuk mengenang jasanya pemerintah menetapkan namanya sebagai nama bandara di Riau, yakni Bandara Sultan Syarif Kasim II.
Kini Kota Siak Sri Indrapura tidak lagi menjadi sebuah kesultanan, ia telah bertransformasi menjadi sebuah ibukota Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Begitulah jejak kesultanan Islam di Riau abad ke-18, sebuah kesultanan yang diperebutkan oleh Inggris dan Belanda.
Penulis: Kukuh Subekti